Tuanku Imam Bonjol berasal dari i Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat,
Indonesia 1 Januari 1772 dan wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotta,
Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Tuanku Imam Bonjol merupakan seorang ulama
yang berjuang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang
Padri tahun 1803-1838.
Tuanku Imam Bonjol berasal dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan
Hamatun (ibu). Ayahnya Tuanku Imam Binjol adalah Khatib Bayanuddin Shahab, yang
merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang.
Nama asli Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Tuanku imam bonjol
adalah pemimpin pada perlawanan perang Padri.
Sebelum kita melanjutkan pembahasan kita mengenai Tuanku Imam Bonjol, kamu sebaiknya mendengarkan musik atau lagu chord kok iso yo sembari membaca artikel ini. Langsung saja simak dibawah ini.
Riwayat Perjuangan Tuanku Imam
Bonjol
Tuanku imam bonjol adalah pemimpin pada perlawanan perang Padri. Perang
Padri adalah perang yang terjadi antara bangsa sendiri, yakni kaum ulama(padri)
dengan kaum adat. Namun akhirnya kedua kaum tersebut bersatu dan berperang
melawan penjajahan Belanda. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu
(1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing
atau Batak umumnya.
Pada mulanya peperangan ini timbul karena didasari keinginan dikalangan
pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat
Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada
Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian
pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau
untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan
beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).
Perundingan demi perundinganpun dilakukan antara Kaum Padri (penamaan
bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat, namun selalu gagal dalam mengambil kata
sepakat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak,
dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang
Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu
Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan
ke Lubukjambi.
Untuk melawan kaum padri, kaum adat meminta bantuan kepada pemerintah
Hindia-Belanda. Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama
dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian
yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan
penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri
juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan
Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan
Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal
April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini Kompeni
melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga
sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu
itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan
Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa
seperti Perang Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri
oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Kerjasama yang dilakukan antara kaum adat dengan belanda membuat situasi
semakin kacau, kaum adat merasa campur tangan belanda malah membuat situasi
semakin rumit. Akhirnya sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara
kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan
Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.
Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru
menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan
kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat
Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak,
Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah
(Al-Qur'an)).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama
orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya "Adopun
hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?"
(Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana
pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda
dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang
dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang
sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti
Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda,
terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten
MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan
seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti
Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro
Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa,
4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan
pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang
Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana
pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein
Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112
flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut
oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut
Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Penangkapan Tuanku Imam Bonjol Oleh Belanda
Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan setelah mendapatkan bantuan
dari Batavia. Pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol
bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda.
Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk
merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang
di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus
1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat
Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.
Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut.
Demikianlah perjuangan tuanku imam bonjol pada perang padri.
Komentar
Posting Komentar