Biografi Siswondo Parman mencakup perjalanan hidup yang penuh lika-liku, dimulai dari zaman Belanda. Dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 191...

Biografi Mayjen Siswondo Parman, Jenderal Angkatan Darat yang Menjadi Korban G30SPKI

 


Biografi Siswondo Parman mencakup perjalanan hidup yang penuh lika-liku, dimulai dari zaman Belanda. Dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1918, di Wonosobo, Jawa Tengah, S. Parman merupakan anak keenam dari 11 bersaudara. Ayahnya, Kromodiharjo, seorang pedagang sukses di Wonosobo, memberikan dukungan bagi S. Parman untuk mengeyam pendidikan hingga level tinggi pada masa kolonial Belanda.

Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS Wonosobo, Siswondo Parman pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah di MULO, kemudian menamatkan pendidikan di tingkat AMS (Algemeene Middlebare School/Sekolah Menengah Atas).

Namun, sebelum masuk AMS, ia kembali ke Wonosobo selama 2 tahun karena sang ayah tutup usia, dan ia harus membantu ibunya dalam berdagang di toko.

Setelah lulus dari AMS Yogyakarta, S. Parman merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool atau GHS).

Pada karirnya mengalami perubahan saat bala tentara Jepang datang sebelum ia lulus. Akibatnya, Siswondo Parman beralih dari cita-citanya menjadi dokter dan memasuki dunia militer.

Pada era penjajahan Jepang, S. Parman direkrut oleh pasukan Kempetai sebagai penerjemah (Kempeiho) setelah kembali ke Wonosobo dari kunjungannya ke Cilacap. Menguasai bahasa Inggris, S. Parman berperan sebagai penerjemah Kempetai di Yogyakarta selama tahun 1943-1945.

Meskipun bekerja untuk Kempetai memberinya pengetahuan baru, ia juga terpaksa menyaksikan aksi kejam dari satuan tersebut.

Setelah Jepang tumbang di Perang Dunia II dan kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, Siswondo Parman menjadi sebentar anggota Komite Nasional Indonesia daerah Yogyakarta.

Setelah itu, ia memutuskan kembali masuk ke dunia militer dengan bergabung ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan masuk ke kesatuan PT atau Polisi Tentara yang baru dibentuk. Dalam waktu singkat, S. Parman naik pangkat menjadi kapten di PT dan sejak Desember 1945, menjadi Kepala Staf di Markas Besar Polisi Tentara Yogyakarta.

Hingga Konferensi Meja Bundar pada akhir 1949 yang menandai berakhirnya Revolusi Kemerdekaan RI, Siswondo Parman tetap bertugas di jawatan yang kemudian beralih nama menjadi Corps Polisi Militer (CPM).

Meskipun karier di CPM berjalan lancar, ia menghadapi kendala pada 1948, dimana S. Parman, yang saat itu berpangkat mayor dan menjabat Kepala CPM Markas Besar Komando Jawa, ditahan karena dituduh terlibat dalam penyembunyian Ir Sakirman selama Peristiwa Madiun 1948.

Setelah dibebaskan saat dimulainya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Siswondo Parman turut serta dalam gerilya. Setelah pemerintahan RI pulih pada tahun 1950, dia dipanggil menjadi Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta dan terlibat dalam menangkap Sultan Hamid II pada 5 April 1950, yang terlibat dalam pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) pimpinan Westerling.

Siswondo Parman menggantikan Ahmad Yunus Mokoginta sebagai Komandan Pusat CPM sejak November 1950 hingga 1953. Pada masa yang sama, ia menjalani kursus militer di AS selama satu tahun dan merangkap sebagai Kepala Staf Umum III Angkatan Darat.

Namun, setelah Peristiwa 17 Oktober 1952 yang melibatkan KASAD AH Nasution, Siswondo Parman melepaskan jabatan terakhirnya dan menjadi tenaga pengajar di Pusat Pendidikan Angkatan Darat.

Meskipun terlibat dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, yang dicatat oleh Benedict Anderson dan Ruth T. McVey sebagai tokoh kunci pendukung Nasution, insiden tersebut tidak menghentikan sepenuhnya karier militer S. Parman. Empat tahun kemudian, pada 1959, ia ditarik oleh Kementerian Pertahanan dan dikirim sebagai Atase Militer RI di London, Inggris.

Ketika Presiden Soekarno mengangkat Ahmad Yani menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat pada tahun 1962, pintu karier S. Parman sebagai pimpinan AD kembali terbuka lebar. Yani memilih Siswondo Parman sebagai pembantu utamanya, menempati posisi Asisten I Bidang Intelijen. Sejak saat itu, salah satu tugas utama S. Parman adalah mengintai aktivitas PKI, yang merupakan lawan politik utama bagi petinggi Angkatan Darat pada era 1960-an.

John Roosa mencatat dalam buku "Dalih Pembunuhan Massal" (2008:213) bahwa Siswondo Parman pernah bercerita kepada seorang perwira militer AS pada pertengahan 1965, menyatakan bahwa ia telah berhasil menyusupi PKI dan memahami isi sidang-sidang penting partai tersebut. Namun, S. Parman menyadari bahwa pimpinan PKI mengetahui penyusupan tersebut dan membentuk grup kecil untuk membahas isu-isu sensitif.

Terkait dengan Peristiwa G30S 1965, jaringan intelijen S. Parman ternyata tidak mampu mengendus rencana penculikannya oleh Pasukan Pasopati pada dini hari 1 Oktober 1965.

Berdasarkan catatan Benedict Anderson dan Ruth McVey dalam "A Preliminary Analysis of The October 1, 1965" (2009:33), lebih dari 20 tentara mendatangi rumah Siswondo Parman di Jalan Serang, Menteng, Jakarta Pusat menjelang subuh. Meskipun semalaman bersama sang istri, S. Parman keluar rumah setelah mendengar keributan, awalnya mengira ada perampokan di rumah tetangga.

Namun, ia kemudian menyadari bahwa kegaduhan tersebut disebabkan oleh tentara anggota Resimen Cakrabirawa yang datang untuk menjemputnya atas perintah Presiden. Tanpa menunjukkan sikap curiga, S. Parman dengan tenang kembali masuk ke dalam rumah untuk mengenakan seragam kemiliteran, diikuti oleh beberapa tentara yang membuntutinya.

Hingga diangkut kendaraan menuju Lubang Buaya, Siswondo Parman tidak menunjukkan perlawanan, meskipun terlihat sepenuhnya menyadari bahwa dirinya berada dalam bahaya. Sebelum berangkat, S. Parman berbisik pada istrinya, Sumirahayu, untuk segera menelepon Ahmad Yani.

Sayangnya, para tentara yang membawa Siswondo Parman juga merampas pesawat telepon di kediamannya. Sekitar 15 menit setelah suaminya pergi, Sumirahayu baru benar-benar yakin bahwa nyawa S. Parman terancam ketika mendengar keluhan Mariatni, istri dari MT Haryono.

Mariatni datang ke rumah Sumirahayu dengan isak tangis, menceritakan bahwa suaminya baru saja tewas dan dibawa oleh sekelompok tentara. Peluru yang menembus tubuh MT Haryono ternyata keluar dari senjata Sersan Mayor Boengkoes, salah satu komandan Cakrabirawa. Haryono merupakan salah satu dari tiga jenderal yang dibawa ke Lubang Buaya dalam kondisi tidak bernyawa, bersama Ahmad Yani dan DI Panjaitan.

Sementara tiga jenderal lainnya, yakni Siswondo Parman, R. Suprapto, dan Sutoyo, bersama dengan satu korban salah tangkap, Pierre Tendean, masih hidup saat diculik, tetapi nyawa mereka akhirnya diputuskan di kawasan Lubang Buaya.

0 komentar: