Dalam rapat antara Dewan Gelar, Tanda Jasa dan Tanda
Kehormatan dengan Jokowi pada 6 November 2021 tentang usulan calon Pahlawan
Nasional 2019 yang tertuang dalam Surat Menteri Sosial Rl nomor 23/MS/A/09/2019
tanggal 9 September 2019. Rohana Kudus (Roehana Koeddoes) ditetapkan sebagai
pahlawan nasional.
Siapakah sosok Rohana Kudus ini? Berikut ulasan lengkapnya.
Roehana Koeddoes memiliki nama Siti Rohana. Perempuan kelahiran
Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1884 ini
merupakan putri dari Moehammad Rasjad Maharadja Sutan dan Kiam. Ayahnya ialah
seorang Kepala Jaksa di pemerintah Hindia Belanda.
Roehana Koeddoes memiliki hobi yang diturunkan dari ayahnya,
yaitu membaca. Sedari kecil, ia memiliki akses untuk membawa buku, majalah
ataupun surat kabar yang dibeli ayahnya. Walau tidak pernah mengenyam
pendidikan di bangku sekolah, berkat didikan ayahnya, di usia lima tahun pun
Roehanna Koeddoes sudah mampu mengenal abjad latin, Arab hingga Arab Melayu.
Saat Roehana berusia enam tahun, mereka sekeluarga ikut
ayahnya ke Alahan Panjang karena dipindah tugaskan sebagai juru tulis disana.
Di Alahan Panjang, dia bertetangga dengan Jaksa Alahan Panjang Lebi Jaro Nan
Sutan. Mereka menganggap Roehana sebagai anak kandungnya lantaran pasangan
Sutan dan Adiesa tak memiliki anak.
Adiesa sering mengundang Roehana untuk main ke rumahnya. Di
sana, Roehana diajarkan membaca, menulis, hingga menghitung. Setelah dua tahun
di didik oleh Adiesa, Roehana Koeddoes mahir menulis huruf latin, Arab dan Arab
Melayu. Bahkan, dia juga mahir berbahasa Inggris sejak usia delapan tahun.
Pembela Nasib Perempuan
Roehana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) pada
11 Februari 1911. Sekolah ini fokus pada pendidikan kaum wanita yang mengajarkan
keterampilan. Sekolah itu didirikan untuk mengangkat derajat perempuan Melayu
di Minangkabau. Ia mengajari mereka menulis, membaca, berhitung dan
keterampilan lain seperti menyulam dan menjahit.
Untuk menolong kaum wanita, dia bertekad untuk memperluas
perjuangan, dirinya ingin berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan
perempuan di daerah lain. Dengan begitu, dirinya bisa membantu kaum perempuan
lebih banyak lagi.
Setelah berdiskusi dan mendapatkan persetujuan suaminya,
Roehana Koeddoes mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja. Ia merupakan
pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe di Padang, Sumatera Barat. Dalam surat itu,
Roehana menyampaikan keingiannya agar perempuan diberi kesempatan mendapatkan
pendidikan yang layak seperti kaum pria. Dia juga mengusulkan agar Oetoesan
Melajoe memberi ruang pada tulisan perempuan.
Rohana Kudus punya alasan tersendiri mengirim surat kepada
Maradja. Saat itu, Maharadja merupakan wartawan senior yang bijaksana dan
memiliki sifat kebapakan. Siapa sangka, Maharadja justru tersentuh membaca
tulisan Roehana. Dia pun rela menemui Roehana di Koto Gadang.
Saat bertemu, Rohana Kudus menyampaikan idenya tak hanya
sebatas pemberian ruang bagi tulisan perempuan. Namun, dia juga berkeinginan
untuk menerbitkan surat kabar yang dikhususkan untuk perempuan. Roehana pun
meminta bantuan karena tidak bisa meninggalkan KAS.
Maharadja kemudian mengusulkan agar anaknya, Ratna Juwita
Zubaidah, yang akan mengurus urusan di Padang. Usulan ini disetujui karena
dianggap cukup adil. Rohana dan Juwita pun kemudian sama-sama menulis. Sementara
Ratna Juwita mengurus keperluan redaksi di Padang, Rohana mencarikan
kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik dalam suratkabar mereka.
Maka, terbitlah Soenting Melajoe yang pertama pada 10 Juli
1912. Surat kabar ini diperuntukkan bagi perempuan seluruh tanah Melayu. Diterbitkan
sekali dalam seminggu dengan panjang 4 halaman. Persebaran Soenting Melajoe
menjangkau seluruh Minangkabau dan Sumatera, juga menjangkau Malaka dan
Singapura karena disirkulasikan bersama Oetoesan Melajoe.
Kiprah Rohana dalam bidang Jurnalistik tak terbatas pada
penerbitan Soenting Melajoe. Saat ia pindah ke Medan pada 1920, ia bekerjasama
dengan Satiman Parida Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Saat ia
kembali ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di
suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang.
Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisikan ajakan kaum
perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan
orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di Perkebunan
Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam
prostitusi.
“Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum
perempuan,” kata Rohana.
Komentar
Posting Komentar