Madura, pulau yang terletak di sebelah timur laut dari Jawa Timur. Suku Madura termasuk etnis yang berpopulasi besar di Indonesia berjumlah sekitar 7 juta jiwa lebih yang berasal dari Pulau Madura dan pulau – pulau di sekitarnya. Madura pernah menjadi salah satu negara boneka yang dibentuk Belanda pada zaman Republik Indonesia Serikat. Ini berarti, Madura pun tidak luput dari kisah sejarah perjuangan kemerdekaan, namun hingga saat ini pahlawan nasional dari Madura yang diakui baru tercatat sejumlah dua orang. Nama – nama pahlawan nasional dari Madura tersebut antara lain:
1. Pangeran Trunojoyo
Pahlawan nasional dari Madura ini lahir di Sampang, pada tahun 1649 dengan nama kecil Raden Nila Prawata. Beliau adalah cucu dari Pangeran Cakraningrat I, Raja Madura, keturunan dari Kraton Arosbaya Madura yang ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram. Ayahnya adalah putra ke 3 Cakraningrat bernama R. Demang Melayakusuma yang memimpin pemerintahan sehari – hari di Madura Barat. Semasa kecil Pangeran Trunojoyo dididik dan dibesarkan di lingkungan Kraton Mataram yang dipimpin oleh putra Sultan Agung yaitu Amangkurat I. Pada tahun 1656 terjadi perselisihan di Mataram yang dipicu oleh pemberontakan Pangeran Alit hingga jatuh korban jiwa. Mereka adalah Pangeran Cakraningrat I dan R. Demang Melayakusuma, ayah Trunojoyo, yang diutus untuk meredakan pemberontakan.
Korban lain adalah Raden Ario Atmojonegoro (putra pertama Cakraningrat I), dan Pangeran Ario/Pangeran Alit (adik Amangkurat I). Pemberontakan terjadi karena pemerintahan Amangkurat yang keras dan bersekutu dengan VOC. Madura kemudian dipimpin oleh Raden Undagan, paman Trunojoyo yang bergelar Panembahan Cakraningrat II. Akan tetapi ia juga lebih banyak berada di Mataram daripada di Madura seperti ayahnya. Putra Mahkota Amangkurat I bernama Adipati Anom ternyata juga menyimpan ketidak puasan kepada ayahnya, namun tidak berani memberontak secara terang – terangan.
Ia meminta bantuan Raden Kajoran/Panembahan Rama, seorang kerabat Mataram dan seorang ulama, yang merupakan mertua Trunojoyo. Pada tahun 1974 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura dan menyatakan diri sebagai Raja merdeka di Madura Barat, sejajar dengan penguasa Mataram. Rakyat mendukung karena Cakraningrat dianggap mengabaikan pemerintahan. Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri, Surabaya, dan Karaeng Galesong, pemimpin pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin. Mereka berhasil mendesak pasukan Amangkurat I, tetapi kemudian timbul perselisihan dengan Adipati Anom karena Trunojoyo tidak mau menyerahkan kepemimpinannya dan berhasil mengalahkan pasukan Adipati pada 1676.
Kemudian ia menyerbu Plered, ibukota Mataram dan berhasil mendesak Amangkurat I hingga ke Wonoyoso dan meninggal di Tegal. Trunojoyo lalu mendirikan pemerintahan sendiri dengan gelar Panembahan Maduretno. Adipati Anom yang diangkat menjadi Amangkurat II bersama VOC sepakat melawan Trunojoyo melalui Perjanjian Jepara (September 1677). VOC yang memusatkan kekuatannya bersama Mataram akhirnya berhasil menyudutkan Trunojoyo dan menguasai bentengnya. Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo pada 2 Januari 1680. Sejak itu VOC berhasil menancapkan cakarnya pada Mataram dan Madura.
2. Abdul Halim Perdana Kusuma
Pada zaman penjajahan tidak banyak putra Indonesia yang ahli menerbangkan pesawat. Saat itu Indonesia juga belum memiliki pesawat terbang. Tetapi sudah ada seorang putra Madura yang tercatat sebagai anggota Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force. Ia adalah Abdul Halim Perdana Kusuma, yang lahir di Sampang pada 18 November 1922 yang ahli dalam navigasi dan mengemudikan pesawat terbang. Putra dari Patih Sumenep itu berpangkat Wing Commander dan terlibat dalam 44 tugas penerbangan menggunakan pesawat jenis Lancaster atau Liberator sebagai navigator tempur pada Perang Dunia II di Eropa dan Asia. Jenjang pendidikannya dimulai dari HIS di tahun 1928, lalu MULO pada 1935, dan Sekolah Pamong Praja di Magelang.
Sesudah selesai ia menjadi calon Mantri di kantor Kabupaten Probolinggo, lalu diperintah oleh Bupati untuk mengikuti pendidikan Perwira AL Belanda di Surabaya. Dari sini ia mengikuti pendidikan di Royal Canadian Air Force jurusan Navigasi. Ia dijuluki The Black Mascot karena di setiap peperangan yang ia ikuti, semua kru berhasil kembali dengan selamat. Selesai bertugas di Eropa, ia kembali ke Indonesia untuk membantu membangun kekuatan Angkatan Udara Indonesia sebagai pelatih penerbangan dan instruktur navigasi walaupun dengan keterbatasan fasilitas dan sarana. Selain itu, ia juga sering diberi berbagai tugas penting seperti terlibat dalam pendirian pangkalan udara AURI sebagai Perwira Operasi berpangkat Komodor Udara.
Ia mempersiapkan penyerangan terhadap kota – kota yang diduduki Belanda seperti Ambarawa, Salatiga, Semarang dan kota lainnya. bersama rekannya yang lain seperti Agustinus Adisucipto, Abdulrachman Saleh dan Iswahyudi kemudian memperbaiki pesawat – pesawat tua bekas Jepang hingga dapat digunakan kembali. Sayangnya ia tewas ketika pesawatnya jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Laksamana Muda Udara (Marsekal Muda Udara), serta diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 1975.
0 komentar: