Peran wanita dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya wanita yang diberi gelar Pahlawan Nas...

5 Pahlawan Perempuan dari Sumatera



Peran wanita dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia sangat besar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya wanita yang diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Para perempuan pejuang itu ada yang berjuang di masa VOC, pemerintahan Hindia Belanda, hingga saat perang revolusi mempertahankan kemerdekaan. Pahlawan perempuan tidak hanya ada di Jawa. Mereka tersebar di seluruh Nusantara, termasuk di Pulau Sumatera. Berikut profil singkat 5 pahlawan wanita dari Pulau Sumatera:

Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dhien dikenal sebagai Pemimpin Gerilya Aceh yang berperang melawan Kolonial Belanda pada masa Perang Aceh yang terjadi tahun 1873-1904. Cut Nyak Dhien Indah Permatasari lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848. Dia merupakan istri dari Teuku Umar yang juga mendapat gelar Pahlawan Nasional. Perjuangan Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar saat itu adalah menolak kehadiran Belanda yang ingin memperluas wilayah penjajahannya di Aceh. Cut Nyak Dhien pada akhirnya ditangkap Belanda, dan dibuang sebagai tawanan. Beliau meninggal dunia di Sumedang, Jawa Barat, pada 6 November 1908. Cut Nyak Dhien dianugerahi gelar Pahlawan Nasional 2 Mei 1964.

Cut Meutia

Di samping Cut Nyak Dhien, adapula seorang pejuang wanita yang berjuang melawan Belanda bernama Cut Meutia. Cut Meutia lahir di Alue Kurieng, Aceh pada tahun 1870. Sejak kecil, Cut Meutia sudah diajarkan agama Islam oleh kedua orang tuanya. Cut Meutia turun tangan langsung saat Perang Aceh. Pada tahun 1902, pasukan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di Simpang Ulim Blang Nie.

Penyerangan secara mendadak itu membuat pasukan Belanda lumpuh total. Sebanyak 42 pucuk senjata dapat direbut oleh pasukan Cut Meutia. Cut Meutia melanjutkan perang gerilyanya hingga beberapa tahun lamanya. Pada 24 Oktober 1910, pasukan Cut Meutia terlibat pertempuran dengan Belanda. Namun, karena jumlah pasukan dan persenjataan yang tidak imbang, pasukan Cut Meutia pun terdesak. Pada hari itu, Cut Meutia gugur dalam usia 40 tahun. Cut Meutia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 2 Mei 1964.

Hajjah Rangkayo Rasuna Said

Berikutnya adalah Hajjah Rangkayo Rasuna Said, atau yang lebih dikenal HR. Rasuna Said. Rasuna Said lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, pada tanggal 14 September 1910. Dia dikenal gigih merintis gerakan kaum wanita Minangkabau pada saat itu. Pada tahun 1926, Rasuna Said bergabung ke dalam perkumpulan “Serikat Rakyat (SR)”. Pada perkembangannya, SR menjelma menjadi Partai Serikat Islam Indonesia. Pada masa kemerdekaan, tepatnya 17 April 1946, Rasuna Said terpilih menjadi Dewan Perwakilan Sumatera. Pada tahun 1947 dia menjadi mewakili Sumatera di KNI Pusat. Rasuna Said meninggal di Jakarta tanggal 2 November 1965, dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 13 Desember 1974.

Fatmawati

Pahlawan wanita dari Pulau Sumatera berikutnya adalah Fatmawati. Dia merupakan Ibu Negara Indonesia pertama karena menjadi istri Presiden Soekarno. Fatmawati lahir di Bengkulu tanggal 5 Februari 1923. Dia dikenal sebagai penjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan saat Proklamasi 17 Agustus 1945. Fatmawati aktif dalam organisasi-organisasi kewanitaan. Dia pernah menjadi pengurus Nasyla Aisyiah Muhammadiyah. Fatmawati juga menjadi sosok dibalik keberhasilan tokoh wanita seperti Wakijah Sukijo, Pujo Utomo dan Mahmudah Mas’ud menjadi anggota KNIP. Fatmawati meninggal dunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 14 Mei 1980, dan ditetapkan Pahlawan Nasional pada 4 November 2000.

Laksamana Malahayati

Laksamana Malahayati merupakan pahlawan wanita dari Aceh. Dia lahir di Aceh besar, pada tahun 1550. Laksamana Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah, cucu Laksamana Said Syah, dan cicit dari Sultan Aceh Salahudin Syah yang berkuasa 1530-1539. Dari silsilahnya ini Malahayati mewarisi semangat wira samudra, di mana ia terlibat aktif dalam pertempuran Teluk Haru melawan armada laut Portugis. Pertempuran tersebut menewaskan suaminya Laksamana Malahayati. Namun dia tidak larut dalam kesedihan, bahkan bangkit membentuk pasukan Inong Balee yang terdiri dari para janda yang suaminya gugur dalam perang.

Dalam Inong Balee ini, Malahayati diangkat sebagai laksamana, sekaligus menjadikannya wanita Aceh pertama yang menyandang pangkat laksamana. Pada 21 Juni 1599, Laksamana Malahayati memimpin pasukan laut Kesultanan Aceh melawan Belanda yang memaksakan kehendak dalam berdagang dengan Aceh. Sejarah mencatat, pertempuran ini menewaskan Cornelis De Houtman, pelaut Belanda yang menemukan jalur menuju Indonesia. Laksamana Malahayati meninggal dunia tahun 1615, dalam usia 65 tahun. Makamnya saat ini ada di Desa Lamreh, Krueng Raya, Aceh Besar. Laksamana Malahayati ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 2017.

0 komentar: