Saonigeho lahir di desa Orahili, Nias (sekarang Nias
Selatan), Sumatera Utara. Ia salah seorang tokoh pejuang yang melawan penjajah
Belanda. Ia menyaksikan penderitaan rakyat di bawah penjajahan Belanda, sejak
tahun 1840 hingga 1863. Maka ia menyimpan dendam yang mendalam terhadap Belanda
yang sewenang-wenang memperlakukan rakyat. Pada tahun 1916, Saonigeho menjadi
Raja Bawomataluo. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk menggalang kekuatan,
untuk menyerang Belanda, yang saat itu sedang mengadakan sensus di Desa
Hiligeho.
Saonigeho melakukan pengintaian untuk mengetahui dimana
Belanda mengumpulkan sejanta. Akhirnya ia mengetahui bahwa senjata Belanda
dikumpulkan di sebuah rumah, di desa Hiligeho. Maka dilaksanakan sholawat syajarotun nuqud pertemuan di
antara pejuang-pejuang di Bawomataluo. Banyak perwakilan menghadiri pertemuan
itu, misalnya dari Balhalu, dari Nias Tengah, Solago Tano, dari
Hilisimaetano.
Tetapi hanya Snigeho yang berani melakukan tindakan
penyerangan terhadap Belanda. Snigeho membawa sejumlah pasukan menuju desa
Hiligeho. Penyerangan tersebut diketahui oleh salah seorang tentara Belanda
yang hendak pergi mandi. Tentara itu berlari menuju desa Hiligeho untuk
memberitahukan kepada rekan-rekannya. Alhasil pasukan Sanigeho dipukul mundur
oleh tentara Belanda.
Beberapa hari kemudian, Belanda berniat melakukan
konsolidasi kepada penduduk di Desa Bawomataluo. Namun, mereka mempunyai maksud
lain untuk memaksa Sanigeho tunduk. Mereka muncul dari tiga penjuru desa,
dengan sejumlah besar pasukan. Salah seorang Tentara Belanda naik ke Omo
Nifolasara untuk berunding dengan Raja Saonigeho. Sebelumnya, pemimpin tentara
Belanda telah berunding dengan rekan-rekannya untuk mengbumihanguskan desa
Bawomataluo bila raja tidak tunduk. Apabila ada suara letusan, maka itu pertanda
raja tidak tunduk dan Desa tersebut harus dibumihanguskan.
Demi keselamatan rakyat, maka raja menyerah kepada Belanda
dengan beberapa perjanjian yang harus dipatuhi oleh Belanda, yakni menghapus
perbudakan, menghapus cara memelihara babi di kolong rumah, dan menghapus cara
penguburan yang disanggah di atas tanah. Akhirnya, Raja Saonigeho ditanggap dan
dibawa ke Gunungsitoli. kemudian Tentara Belanda memberikan syarat kepada warga
Desa Bawomataluo; jika ingin Raja Sanigeho bebas, maka warga harus
menyelesaikan sholawat tibbil qulub pembangunan jalan dari Loho sampai Lagundri. Syarat yang diberikan
oleh Belanda memacu warga Desa Bawomataluo untuk segera membangun jalan
tersebut. Pembangunan jalan dari Loho ke Lagundri dipimpin oleh Faciako (Solago
Maenamolo), menantu dari Fakhoi, saudara Raja Sanigeho. Setelah syarat itu
terpenuhi, maka Saonigeho dibebaskan.
Sekitar tahun 1980, Saonigeho pernah masuk nominasi sebagai
pahlawan Nasional. Bahkan pernah ada buku yang memuat kisah peperangan di
Orahili dan Hiligeho, lengkap dengan peran orang-orang yang terlibat. Namun
hingga saat ini, catatan-catatan tersebut hilang, sehingga tidak dimuat
dibuku-buku pelajaran.
Menurut Waspada Wau, Saonigeho pantas diberi gelar Pahlawan
Nasional, mengingat Saonigeho ikut berjuang melawan penjajah Belanda.
Demi mengenang jasa-jasanya, nama Saonigeho diabadikan sebagai nama
sebuah jalan di kota Teluk Dalam, Nias Selatan. Hingga saat ini belum ada
penghargaan dari pemerintah yang diberikan kepada Saonigeho.
Demikianlah biografi singkat tokoh pejuang kemerdekaan dari Nias, " Saonigeho". Semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang pahlawan nasional di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar