Jika menilik kembali ke masa lalu, dimana kaum perempuan di Indonesia tidak memiliki hak sama sekali, baik dalam mendapatkan pendidikan, ber...

Biografi Raden Adjeng Kartini, Pahlawan Kaum Wanita


Jika menilik kembali ke masa lalu, dimana kaum perempuan di Indonesia tidak memiliki hak sama sekali, baik dalam mendapatkan pendidikan, berpendapat, bekerja, membaca ayat seribu dinar dan yang lainnya. Namun, kehadiran seorang wanita yang berasal dari Jepara mengubah segalanya.


Hingga saat ini semua wanita diseluruh bumi pertiwi dapat bersekolah setinggi-tingginya, mengutarakan aspirasi, bekerja sesuai passionnya masing-masing, dan lainnya. Sosok wanita yang dimaksud adalah Raden Adjeng Kartini.


Semua wanita di tanah air harus berterima kasih atas perjuangannya. Sejak dini, anak-anak telah dikenalkan akan sosok pahlawan wanita yang satu ini. Dan salah satu lagu wajib nasional diadopsi dari nama serta kisah perjuangannya. Berikut sepenggal syair dari lagu Ibu Kita Kartini, ciptaan WR. Supratman


Ibu kita kartini.. Putri Sejati, Putri Indonesia..Harum namanya.. 

Ibu kita Kartini.. Pendekar Bangsa, Pendekar Kaumnya..untuk merdeka..


Hari Kartini diperingati setiap 21 April. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 108 tahun 1964 pada 2 Mei 1964, di masa Presiden Soekarno.


Tidak perlu berlama-lama lagi, berikut biografi Raden Ajeng Kartini serta bentuk perjuangnya bagi kaum perempuan Indonesia.


Profil Raden Adjeng Kartini


Raden Adjeng Kartini atau yang yang juga dikenal sebagai Raden Ayu Kartini, lahir di Jepara, 21 April 1879. Ia adalah putrid dari kalangan bangsawan. Ayahnya seorang patih yang diangkat menjadi Bupati Jepara, yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibunya bernama M. A. Ngasirah, putrid dari seorang  guru agama di Telukawur, Jepara.


Kartini adalah putri dari istri pertama ayahnya tetapi bukan istri utama. Mengapa demikian?


Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang Wedana di Mayong. Peraturan colonial saat itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan seorangbangsawan. Karena M. A. Ngasirah (Ibu kandung Kartini) bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya kembali menikah dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), Keturunan langsung Raja Madura.


Anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri ini merupakan wanita yang sangat antusias dengan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Dia sangat gemar membaca dan menulis, bahkan juga belajar bahasa Belanda.


Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV diangkat bupati di usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberikan Pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai dia berusia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS).


Karena beliau bisa berbahasa Belanda, di rumah dia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Hal ini disebabkan ia harus sudah dipingit di usianya yang sudah 12 tahun.



Kartini dijodohkan oleh orangtuanya dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih DjojoAdhiningrat, yang sudah pernah menikah dan telah memiliki tiga istri. Dia menikah pada tanggal 12 November 1903.


Dari hasil pernikahannya tersebut, dia dikaruniai seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904.


Beberapa hari pasca melahirkan putranya, pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia di usianya yang ke 25 tahun.


Perjuangan RA Kartini untuk Kaumnya


Di usianya yang masih 12 tahun tapi harus dipingit membuat Kartini banyak mengirim surat kepada sahabat penanya dan menceritakan semua keluahannya tentang kehidupan Wanita pribumi khususnya Jawa yang sulit untuk maju.


Salah satunya seperti kebiasaan wanita harus dipingit, tidak bebas menuntut ilmu dan juga adat yang mengekang kebebasan perempuan. Dari buku-buku, koran dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuanberpikir perempuan Eropa.Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada di status sosial yang rendah.


Kartini juga mengungkit isu agama seperti poligami dan alasan mengapa kitab suci harus dihapal dan dibaca tanpa harus dipahami. Bahkan, ada kutipan dari kartini yang berkata, “Agama harus menjaga kita dari pada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu.”


Kartini menginginkan emansipasi, seorang perempuan harus memiliki kebebasan dan kesetaraan baik dalam kehidupan maupun dimata hukum.


Hal tersebutdidukung oleh salah satu sahabat penanya, yaitu Rosa Abendanon. Ia banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima Leestrommel (paketmajalah yang diedarkan toko buku kepada langganan).


Beberapa kali Kartini mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Perhatiannya tidak semata-mata soal emansipasi Wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini meliat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari Gerakan yang lebih luas.


Di saat usianya mengijak 20 tahun, daya nalar Kartini semakin matang. Kartini banyakmembaca buku-buku karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan surat-surat cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis. Semuanya menggunakan bahasa Belanda.


Tinggal di Jepara membuat Kartini merasa tidak begitu berkembang. Suatu waktu dia ingin melanjutkan sekolahnya di Jakarta atau Belanda. Namun orangtuanya tidak mengizinkannya tapi tidak melarangnya menjadi seorang  guru. Dan dia pun melanjutkan dan menjalani hidupnya di Jepara.


Kartini diminta orangtuanya untukmenikah di usianya ke 24 tahun. Dia pun menyetujuinya dan menikah dengan BupatiRembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Walau telah menikah, suami Kartini memberinya kebebasan dan dukungan untuk tetap menjadi guru dan mendirikan sekolah Wanita. Sekolah yang diadirikan berada di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang atau sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.


Berkat kegigihannya, maka berdirilah sebuah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah ‘Sekolah Kartini’. Yayasan ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, sorang tokoh Politik Etis.


Beberapa hari setelah melahirkan putranya, Kartini meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.


Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kaum perempuan, kemajuan bangsa dan tanah air, ide-ide yang sudah dia tuangkan dapat dirasakan kaum perempuan Indonesia hingga saat ini. Para perempuan Indonesia telah merasakan perjuangan emansipasi tersebut, telah memperoleh hak-haknya untuk dapat belajar, kesetaraan gender, dan lainnya.

Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri, seperti Tuan EC Adendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH Von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain. Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada tahun 1911 oleh Mr. JH Abedanon yang diberi judul Door Duisternis tot Licht. Kemudian diterjemahkan kebahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru Armijn Pane pada tahun1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”


Buku-buku Karya RA Kartini

1. Habis Gelap Terbitlah Terang

2. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya

3. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904

4. Panggil Aku Kartini Saja

5. Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandiri dan suaminya

6. Aku Mau… Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903

Penghargaan yang Diberikan kepada RA Kartini


1. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 108 tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan tanggal lahir pahlawan yang satu Ini (21 April) sebagai hari besar Nasional yang kemudian dikenal dengan ‘Hari Kartini’.

2. Nama jalan di Belanda.


Itulah biografi Raden Adjeng Kartini. Dan sudah sepantasnya kita menghargai setip perjuangan yang telah dilakukan para pahlawan, sehingga kita bisa seperti saat ini.

0 komentar: