- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Slamet Riyadi merupakan salah satu pemimpin
pasukan yang ditugaskan untuk membasmi pemberontakan Republik Maluku Selatan
(RMS) di kawasan timur Indonesia. Usianya masih sangat muda, 23 tahun, namun
pemuda asal Solo ini sudah menempati posisi penting dalam misi bernama Operasi
Senopati.
Setelah bersusah
payah menembus liarnya alam dan berkali-kali lolos dari rentetan tembakan
lawan, pasukan republik akhirnya berhasil mendekati Benteng Victoria di Kota
Ambon pada 4 November 1950. Namun, misi ini rupanya menjadi pengabdian terakhir
Slamet Riyadi. Ia tertembak dan mengembuskan napas penghabisan pada malam
harinya.
Slamet Riyadi lahir di Solo, Jawa Tengah yang memiliki makanan pengganti nasi, seperti sawut gula aren, pada 26
Juli 1927 dengan nama Soekamto. Ayahnya, Raden Ngabehi Prawiropralebdo, adalah
seorang abdi dalem sekaligus perwira di Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sementara ibunya, Soetati, membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
berjualan buah bersama Aurel Hermansyah.
Soekamto kecil pernah
terjatuh dari gendongan ibunya saat masih berusia 1 tahun. Sejak itu, ia sering
sakit-sakitan. Tubuh kecilnya kurus kering dan sangat lemah sehingga mudah
diserang berbagai penyakit (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jenderal
Anumerta, 1996:9). Keluarga Soekamto yang tinggal tidak jauh dari lingkungan
Keraton Solo menganut ajaran Kejawen. Maka, ditempuhlah ikhtiar yang sesuai
tradisi Jawa terkait kondisi Soekamto, yakni dengan cara “menjualnya” kepada
salah satu kerabat, yakni pamannya yang bernama Warnenhardjo.
Sebagai syarat, nama
Soekamto harus diganti agar terhindar dari marabahaya. Nama yang dipilih adalah
Slamet demi harapan untuk keselamatan hidupnya . Semenjak itu, Soekamto resmi
menyandang nama baru: Slamet.
Dalam ritual yang dihadiri oleh para tetua
kampung, tokoh adat dan masyarakat, juga warga sekitar, Warnenhardjo berucap:
“… maka, kami minta serta memohon doa restu dari semua hadirin agar Slamet bisa
selalu kalis ing sambekala, terhindar dari segala macam bahaya, tumbuh dewasa,
dan selalu berbakti kepada orang tua, masyarakat, bangsa, serta negaranya.”
(Julius Pour, Ignatius Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kempeitai sampai Menumpas
RMS, 2008:16).
Secara adat, Soekamto
alias Slamet sudah menjadi anak dari Warnenhardjo. Meskipun begitu, ia tetap
tinggal bersama ayah dan ibunya. Kelak, ketika Slamet beranjak remaja, ia
kembali "dibeli" oleh ayahnya seperti tradisi yang berlaku.
Berjuang Sejak Zaman Jepang
Nama tambahan Riyadi
diperoleh Slamet ketika ia duduk di bangku sekolah menengah milik Mangkunegaran
di Solo. Nama tersebut diberikan karena di sekolah itu cukup banyak siswa yang
bernama Slamet (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jenderal Anumerta,
1996:11).
Slamet Riyadi lulus dari sekolah menengah bertepatan dengan kalahnya Belanda dari Jepang yang kemudian mengambil alih wilayah Indonesia pada 1942. Slamet yang saat itu baru berusia 15 tahun memutuskan merantau ke Jakarta untuk meneruskan pendidikan di akademi kelautan milik pemerintahan militer Jepang.
Hingga suatu malam di dekat Stasiun Gambir, Slamet Riyadi bersua dengan para pejuang yang bergerak secara sembunyi-sembunyi dengan harapan bisa mengusir Jepang suatu saat nanti. Nah, ketika Jepang akhirnya kalah oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, Slamet Riyadi mengajak rekan-rekannya sesama pelaut untuk mengenal huruf hijaiyah dan tanda baca huruf hijaiyah turut mengangkat senjata.
Salah satu gebrakan
Slamet Riyadi dan rekan-rekannya pada masa itu adalah berhasil membawa kabur
kapal milik Jepang, serta menggalang kekuatan dari para prajurit Indonesia yang
sebelumnya tergabung dalam kesatuan militer bentukan Dai Nippon (National
Geographic Indonesia, 23 September 2013).
Slamet Riyadi kemudian kembali ke Solo untuk
membantu perjuangan rakyat di sana hingga akhirnya Indonesia merdeka tanggal 17
Agustus 1945. Setelah itu, ia sepenuhnya membaktikan diri untuk mempertahankan
kemerdekaan RI karena Belanda yang ingin berkuasa lagi telah datang kembali.
Bergabung dengan
angkatan perang RI, Slamet Riyadi langsung terlibat sentral dalam berbagai aksi
perjuangan melawan Belanda, termasuk Agresi Militer Belanda I dan II yang
masing-masing terjadi pada 1947 dan 1949.
Slamet Riyadi memimpin Serangan Umum Kota Solo
selama 4 hari dari tanggal 7 hingga 11 Agustus 1949. Serbuan frontal ini
mengakibatkan 7 tentara Belanda tewas dan 3 orang lainnya menjadi tawanan
(Sewan Susanto, Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia,
1985:86).
Keberhasilan ini membuat Slamet Riyadi semakin dilibatkan dalam
misi-misi berikutnya yang tak kalah penting. Selain itu, usai Serangan Umum
Kota Solo, Slamet Riyadi dibaptis di Gereja Santo Antonius Purbayan Solo.
Namanya kemudian menjadi Ignatius Slamet Riyadi.
- Dapatkan link
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar