Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prof. DR. Moestopo (lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, 13 Juli 1913 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 2...

 

Mayor Jenderal TNI (Purn.) Prof. DR. Moestopo (lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, 13 Juli 1913 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 29 September 1986 pada umur 73 tahun) adalah seorang penyair puisi pendek dokter gigi Indonesia, pejuang kemerdekaan, dan pendidik. Dia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2007. Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, Hindia Belanda pada tanggal 13 Juli 1913. Dia adalah anak keenam dari delapan bersaudara yang lahir Raden Koesoemowinoto. Setelah sekolah dasarnya, Moestopo pergi ke Sekolah Kedokteran Gigi (STOVIT) di Surabaya.

Pendidikannya adalah tata cara sholat tasbih awalnya dibayar oleh saudara tuanya, Moestopo kemudian mengambil untuk menjual beras untuk mendapatkan jalan melalui universitas. Moestopo pindah ke Surabaya untuk menghadiri Sekolah Kedokteran Gigi di sana. Mengambil pendidikan lanjutan hadits qudsi di lapangan di Surabaya dan Yogyakarta, pada tahun 1937 ia menjadi asisten dokter gigi di Surabaya. Dari 1941-1942, ia menjadi asisten direktur STOVIT. Pada awalnya menjadi seorang penerap pola asuh otoritatif praktisi, karyanya terputus pada tahun 1942 ketika Jepang menduduki Indonesia dan Moestopo ditangkap oleh Kempeitai untuk mencari mencurigakan.

Setelah dibebaskan, ia menjadi dokter gigi untuk mendidik anak perempuan Jepang tapi akhirnya memutuskan untuk melatih sebagai seorang perwira tentara. Setelah lulus dengan pujian, Moestopo diberi komando PETA pasukan di Sidoarjo, ia kemudian dipromosikan menjadi komandan pasukan di Surabaya. Sementara di Surabaya, selama Indonesia Revolusi Nasional Moestopo ditangani dengan pasukan ekspedisi Inggris yang dipimpin oleh Brigadir Walter Sothern Mallaby Aubertin. Ketika hubungan rusak dan Presiden Soekarno dipanggil ke Surabaya untuk memperbaiki mereka, Moestopo ditawari pekerjaan sebagai penasihat tapi ditolak.

Selama perang ia menjabat beberapa posisi lainnya, termasuk memimpin satu skuadron tentara reguler, pencopet untuk menyebarkan kebingungan di jajaran pasukan Belanda musuh. Setelah perang, Moestopo pindah ke Jakarta, di mana dia menjabat sebagai Kepala Bagian Bedah Rahang di Rumah Sakit Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto Militer). Pada tahun 1952, Moestopo mulai pelatihan dokter gigi lain di off waktu dari rumahnya, memberikan pelatihan dasar dalam kebersihan, gizi, dan anatomi. Sementara itu, ia berada di bawah pertimbangan untuk posisi Menteri Pertahanan untuk Wilopo Kabinet, tetapi akhirnya tidak dipilih, melainkan, ia memimpin serangkaian demonstrasi menentang sistem parlementer.


Moestopo diformalkan saja kedokteran gigi rumahnya pada tahun 1957, dan pada tahun 1958 - setelah pelatihan di Amerika Serikat - ia mendirikan Dr Moestopo Gigi College, yang ia terus mengembangkannya sampai menjadi sebuah universitas pada 15 Februari 1961. Setelah perang, Moestopo terus bekerja sebagai dokter gigi, dan pada tahun 1961 ia mendirikan Universitas Moestopo. Pada tahun yang sama, ia menerima gelar doktor dari Universitas Indonesia. Dia meninggal di Bandung pada tahun 1986. Moestopo meninggal pada 29 September 1986 dan dimakamkan di Pemakaman Cikutra, Bandung.

Pada tanggal 9 November 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi Moestopo judul Pahlawan Nasional dari Indonesia; Moestopo mendapat predikat bersama dengan Adnan Kapau Gani, Ida Anak Agung Gde Agung, dan Ignatius Slamet Riyadi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 66/2007 TK. Pada tahun yang sama ia dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana.

  Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) Rekt adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal...

 


Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880–1918) Rekt adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S.. Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.

Baca : Sejarah Tiwul

Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918. Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula. Pada 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.

Baca : Contoh Pidato Isra Miraj

Takashi Shiraishi lewat buku Zaman Bergerak menyebut Tirto Adhi Soerjo sebagai orang bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui bahasanya lewat Medan Prijaji. Tirto Adhi Soerjo juga mendapat tempat yang banyak pula dalam laporan-laporan pejabat-pejabat Hindia Belanda, terutama laporan Dr. Rinkes. Ini disebabkan karena Tirto memegang peranan pula dalam pembentukan Sarekat Dagang Islam di Surakarta bersama Haji Samanhudi, yang merupakan asal mula Sarikat Islam yang kemudian berkembang ke seluruh Indonesia. Anggaran Dasar Sarikat Islam yang pertama mendapat persetujuan Tirto Adi Soerjo sebagai ketua Sarikat Islam di Bogor dan sebagai redaktur suratkabar Medan Prijaji di Bandung.

Baca : Pengertian Isra Miraj

Ketika menulis buku kenang-kenangannya pada tahun 1952, Ki Hajar Dewantara mencatat tentang diri Tirtohadisoerjo sebagai berikut: "Kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo ada seorang wartawan modern, yang menarik perhatian karena lancarnya dan tajamnya pena yang ia pegang. Yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian bernama Tirtohadisoerjo, bekas murid STOVIA yang waktu itu bekerja sebagai redaktur harian Bintang Betawi (yang kemudian bernama Berita Betawi) lalu memimpin Medan Prijaji dan Soeloeh Pengadilan. Ia boleh disebut pelopor dalam lapangan journalistik."

Sudarjo Tjokrosisworo dalam bukunya Sekilas Perjuangan Suratkabar (terbit November 1958) menggambarkan Tirtohadisoerjo sebagai seorang pemberani. "Dialah wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan suratkabar sebagai pembentuk pendapat umum, dengan berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pihak kekuasaan dan menentang paham-paham kolot. Kecaman hebat yang pernah ia lontarkan terhadap tindakan-tindakan seorang kontrolir, menyebabkan Tirtohadisoerjo disingkirkan dari Jawa, dibuang ke Pulau Bacan," tulis Tjokrosisworo.

Baca : Profil WahyuIman Santoso, Hakim yang Menvonis Ferdy Sambo

  Bernard Wilhelm Lapian (lahir di Kawangkoan, 30 Juni 1892 – meninggal di Jakarta, 5 April 1977 pada umur 84 tahun) adalah seorang pejuang ...

 

Bernard Wilhelm Lapian (lahir di Kawangkoan, 30 Juni 1892 – meninggal di Jakarta, 5 April 1977 pada umur 84 tahun) adalah seorang pejuang nasionalis berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Perjuangannya dilakukan dalam berbagai bidang dan dalam rentang waktu sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai pada zaman kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1958, Lapian dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya dan pada tahun 1976 ia menerima penghargaan Bintang Mahaputra Pratama. Ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara pada tanggal 5 November 2015. Sebuah monumen didirikan di Kawangkoan untuk Lapian dan Ch. Ch. Taulu untuk memperingati keterlibatan mereka dalam peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado.

Baca : Biografi Shenina Cinnamon

Bernard Wilhelm Lapian lahir di Kawangkoan pada tanggal 30 Juni 1892. Ayahnya bernama Enos Lapian dan ibunya bernama Petronella Geertruida Mapaliey. Karena jabatan ayahnya sebagai kepala Sekolah Rakyat (Volksschool) di Kawangkoan, Lapian bisa masuk sekolah dasar bahasa Belanda (Amurangse School) di Amurang, sekitar 40 kilometer dari Kawangkoan. Dia kemudian mengambil kursus-kursus hingga tingkat sekolah menengah pertama (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO). Lapian berusia 17 pada tahun 1909 ketika ia mulai bekerja di perusahaan pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Dia bekerja untuk KPM selama 20 tahun. Pada awalnya ia bekerja di atas kapal, tapi pada tahun 1919 Lapian mendapat tanggung jawab sebagai hofmeester yang mengurus logistik kapal dan bekerja di Batavia (sekarang Jakarta).

Baca : Doa Bangun Tidur

Pada saat dia berada di Batavia, ia mengirim artikel-artikel ke surat kabar Pangkal Kemadjoean dengan fokus untuk memerangi kolonialisme Belanda. Dia juga menerbitkan surat kabar bernama Fadjar Kemadjoean (1924–1928) yang berisi tulisan-tulisan berkaitan dengan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun 1940, ia menerbitkan sebuah koran lokal di Kawangkoan bernama Semangat Hidoep. Lapian menikah dengan Maria Adriana Pangkey pada tanggal 30 Mei 1928 di Tomohon. Mereka mempunyai enam anak termasuk Adrian Bernard Lapian, seorang ahli dalam sejarah maritim Indonesia, dan Louisa Magdalena Lapian, seorang ahli hukum. Saudara laki-laki Lapian yakni Benjamin Julian 'Bert' Lapian, pernah juga menjabat sebagai walikota Manado dari 1 Maret 1952 hingga 1 September 1953.

Lapian pernah menjadi wakil rakyat dalam dua kapasitas, yang satu dalam wilayah lokal dan satu lagi untuk seluruh Hindia Belanda. Dari 1930 hingga 1942, ia adalah anggota dewan lokal yang disebut Dewan Minahasa (Minahasaraad) di Manado. Anggota dewan ini mewakili orang-orang di seluruh wilayah Minahasa dan Lapian mewakili rakyat dari Kawangkoan. Pada tahun 1938, Lapian juga menjadi anggota Dewan Rakyat untuk Hindia Belanda (Volksraad) di Batavia. Dia bergabung dengan Fraksi Nasional yang dipimpin oleh Mohammad Husni Thamrin.

Baca : Resep Olahan Ubi Ungu

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di mana semua gereja Kristen berada di bawah naungan satu institusi Indische Kerk yang dikendalikan oleh pemerintah, Lapian bersama tokoh-tokoh lainnya (termasuk Sam Ratulangi dan AA Maramis) mendeklarasikan berdikarinya Kerapatan Gereja Protestan di Minahasa (KGPM) pada bulan Maret 1933. KGPM adalah suatu gereja mandiri hasil bentukan putra-putri bangsa sendiri yang tidak bernaung di dalam Indische Kerk. Pada mulanya, Lapian diangkat sebagai sekretaris. Dia kemudian diangkat sebagai ketua KGPM pada tahun 1938 dan dalam jabatannya ia membantu mendirikan 16 sekolah dasar dan 17 sekolah menengah.

Pada akhir Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda bertekad untuk kembali ke Indonesia dan upaya ini didukung oleh pasukan Sekutu yang memasuki Indonesia setelah Jepang menyerah. Pada tanggal 14 Februari 1946, sekelompok prajurit Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di Manado dengan bantuan pemuda setempat dan pejuang kemerdekaan menangkap para perwira KNIL yang berkebangsaan Belanda. Pada tanggal 16 Februari 1946, Lapian yang merupakan Residen Manado pada waktu itu ditunjuk menjadi kepala pemerintahan Republik Indonesia di Sulawesi Utara. Keadaan ini berlangsung hingga 10 Maret 1946, ketika Belanda berhasil menduduki kembali wilayah itu. Lapian ditangkap dan dipenjarakan di Manado. Dia dipindahkan ke Cipinang di Jakarta tahun 1947 dan kemudian ke Sukamiskin di Bandung tahun 1948. Ia dibebaskan pada tanggal 20 Desember 1949 setelah Konferensi Meja Bundar.

Lapian menjadi penjabat gubernur Sulawesi pada tanggal 17 Agustus 1950 dan menjabat sampai 1 Juli 1951. Selama masa jabatannya sebagai pejabat gubernur, Lapian membuka dan mengembangkan daerah di sekitar Dumoga di Bolaang Mongondow untuk pemukiman dan pertanian. Dia membangun jalan yang menghubungkan Kotamobagu dan wilayah Molibago. Dia juga membentuk dewan perwakilan daerah di seluruh wilayah Sulawesi dan melakukan pemilihan pasca-kemerdekaan pertama di wilayah Minahasa pada tanggal 14 Juni 1951. Dia juga memulai upaya untuk mencapai perdamaian dengan pemberontakan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Lapian meninggal pada tanggal 5 April 1977 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Baca : Pengertian Suhuf dalam Islam

Dipa Nusantara Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 ta...


Dipa Nusantara Aidit (lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965 pada umur 42 tahun) adalah seorang pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI). Kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatra Barat yang pergi merantau ke Belitung. Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah  sholat tahiyatul masjid mengetahui dan mengakui hal itu. Lahir dengan nama Ahmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil "Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Aidit mendapat pendidikan dalam sistem kolonial Belanda. Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.

Baca : Pengertian Istiqomah

Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya ada beberapa sumber hukum Islam yang wajib diketahui, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.

Meskipun Catlin Halderman seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno[4] dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk berdoa setelah sholat fardhu merebut kekuasaan. Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.

Baca : Tata Cara Sholat Jumat

Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.

Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S. Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto berdoa agar terhindar dari fitnah dajjal mengeluarkan versi resmi dia bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.

Baca juga : Niat Sholat Jenazah

  Abdoel Moeis (bahasa Arab: عبد المعز 'Abd Al-Mu'iz) (lahir di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Band...

 


Abdoel Moeis (bahasa Arab: عبد المعز 'Abd Al-Mu'iz) (lahir di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959.

Baca : Fakta menarik capybara

Abdul Muis adalah seorang Minangkabau, putra Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam. Selesai dari ELS, Abdul Muis melanjutkan pendidikannya ke Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta. Namun karena sakit, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di sana.

Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun bekerja di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung.[2] Pada tahun 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian ia sempat menjadi mantri lumbung, dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.

Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian, melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan. Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam.

Baca : Profil Callista Arum

Bulan Juni 1919, seorang pengawas Belanda di Toli-Toli, Sulawesi Utara dibunuh setelah ia berpidato disana. Abdul Muis dituduh telah menghasut rakyat untuk menolak kerja rodi, sehingga terjadi pembunuhan tersebut. Atas kejadian itu dia dipersalahkan dan dipenjara.[3] Selain berpidato ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya di harian berbahasa Belanda De Express, Abdul Muis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.[butuh rujukan]

Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Disana ia mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya tersebut ia dilarang berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang melarangnya tinggal di Sumatera Barat dan keluar dari Pulau Jawa. Kemudian ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Di kota ini ia menyelesaikan novelnya yang cukup terkenal : Salah Asuhan.

Tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Dan enam tahun kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942). Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.