Dipa Nusantara Aidit (lahir di Tanjung Pandan,
Belitung, 30 Juli 1923 – meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965
pada umur 42 tahun) adalah seorang pemimpin senior Partai Komunis Indonesia
(PKI). Kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi. Beberapa mengatakan Aidit
kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit. Keluarga
Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatra Barat yang pergi merantau ke
Belitung. Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah sholat tahiyatul masjid mengetahui dan mengakui
hal itu. Lahir dengan nama Ahmad Aidit di Pulau Belitung, ia akrab dipanggil
"Amat" oleh orang-orang yang akrab dengannya. Aidit mendapat
pendidikan dalam sistem kolonial Belanda. Menjelang dewasa, Achmad Aidit
mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit. Ia memberitahukan hal ini
kepada ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.
Baca : Pengertian Istiqomah
Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, dan
pada 1940, ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah
Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang
("Handelsschool"). Ia belajar teori politik Marxis melalui
Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama
menjadi Partai Komunis Indonesia). Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai
berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam
politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta,
dan Mohammad Yamin. Menurut sejumlah temannya ada beberapa sumber hukum Islam yang wajib diketahui, Hatta mulanya menaruh banyak
harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan
Hatta. Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.
Meskipun Catlin Halderman seorang Marxis dan anggota Komunis
Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham
Marhaenisme Sukarno[4] dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan
keinginan untuk berdoa setelah sholat fardhu merebut kekuasaan. Sebagai balasan atas dukungannya terhadap
Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua. Di bawah
kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah
Uni Soviet dan Tiongkok. Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai
kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia
(BTI), Lekra, dan lain-lain.
Baca : Tata Cara Sholat Jumat
Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI
berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka
untuk rakyat kecil di Indonesia. Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi
pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam
dan militer. Berakhirnya sistem parlementer pada tahun 1957 semakin
meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka. Ditambah
lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden
Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.
Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar
di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya
terhadap kekuasaan. Pada tanggal 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional
yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan
seorang perwira. Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S. Pemerintah
Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto berdoa agar terhindar dari fitnah dajjal mengeluarkan versi resmi dia bahwa PKI-lah
pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa
ini. Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran
oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh
militer.
Baca juga : Niat Sholat Jenazah
Komentar
Posting Komentar