Bernard Wilhelm Lapian (lahir di Kawangkoan, 30 Juni 1892 – meninggal di Jakarta, 5 April 1977 pada umur 84 tahun) adalah seorang pejuang nasionalis berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Perjuangannya dilakukan dalam berbagai bidang dan dalam rentang waktu sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai pada zaman kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1958, Lapian dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya dan pada tahun 1976 ia menerima penghargaan Bintang Mahaputra Pratama. Ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara pada tanggal 5 November 2015. Sebuah monumen didirikan di Kawangkoan untuk Lapian dan Ch. Ch. Taulu untuk memperingati keterlibatan mereka dalam peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946 di Manado.
Baca : Biografi Shenina Cinnamon
Bernard Wilhelm Lapian lahir di Kawangkoan pada
tanggal 30 Juni 1892. Ayahnya bernama Enos Lapian dan ibunya bernama Petronella
Geertruida Mapaliey. Karena jabatan ayahnya sebagai kepala Sekolah Rakyat
(Volksschool) di Kawangkoan, Lapian bisa masuk sekolah dasar bahasa Belanda
(Amurangse School) di Amurang, sekitar 40 kilometer dari Kawangkoan. Dia
kemudian mengambil kursus-kursus hingga tingkat sekolah menengah pertama (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs, MULO). Lapian berusia 17 pada tahun 1909 ketika ia
mulai bekerja di perusahaan pelayaran Belanda KPM (Koninklijke Paketvaart
Maatschappij). Dia bekerja untuk KPM selama 20 tahun. Pada awalnya ia bekerja
di atas kapal, tapi pada tahun 1919 Lapian mendapat tanggung jawab sebagai
hofmeester yang mengurus logistik kapal dan bekerja di Batavia (sekarang
Jakarta).
Baca : Doa Bangun Tidur
Pada saat dia berada
di Batavia, ia mengirim artikel-artikel ke surat kabar Pangkal Kemadjoean
dengan fokus untuk memerangi kolonialisme Belanda. Dia juga menerbitkan surat
kabar bernama Fadjar Kemadjoean (1924–1928) yang berisi tulisan-tulisan
berkaitan dengan memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun
1940, ia menerbitkan sebuah koran lokal di Kawangkoan bernama Semangat Hidoep.
Lapian menikah dengan Maria Adriana Pangkey pada tanggal 30 Mei 1928 di
Tomohon. Mereka mempunyai enam anak termasuk Adrian Bernard Lapian, seorang
ahli dalam sejarah maritim Indonesia, dan Louisa Magdalena Lapian, seorang ahli
hukum. Saudara laki-laki Lapian yakni Benjamin Julian 'Bert' Lapian, pernah
juga menjabat sebagai walikota Manado dari 1 Maret 1952 hingga 1 September 1953.
Lapian pernah menjadi wakil rakyat dalam dua
kapasitas, yang satu dalam wilayah lokal dan satu lagi untuk seluruh Hindia
Belanda. Dari 1930 hingga 1942, ia adalah anggota dewan lokal yang disebut
Dewan Minahasa (Minahasaraad) di Manado. Anggota dewan ini mewakili orang-orang
di seluruh wilayah Minahasa dan Lapian mewakili rakyat dari Kawangkoan. Pada
tahun 1938, Lapian juga menjadi anggota Dewan Rakyat untuk Hindia Belanda
(Volksraad) di Batavia. Dia bergabung dengan Fraksi Nasional yang dipimpin oleh
Mohammad Husni Thamrin.
Baca : Resep Olahan Ubi Ungu
Pada masa
pemerintahan Hindia Belanda, di mana semua gereja Kristen berada di bawah
naungan satu institusi Indische Kerk yang dikendalikan oleh pemerintah, Lapian
bersama tokoh-tokoh lainnya (termasuk Sam Ratulangi dan AA Maramis)
mendeklarasikan berdikarinya Kerapatan Gereja Protestan di Minahasa (KGPM) pada
bulan Maret 1933. KGPM adalah suatu gereja mandiri hasil bentukan putra-putri
bangsa sendiri yang tidak bernaung di dalam Indische Kerk. Pada mulanya, Lapian
diangkat sebagai sekretaris. Dia kemudian diangkat sebagai ketua KGPM pada
tahun 1938 dan dalam jabatannya ia membantu mendirikan 16 sekolah dasar dan 17
sekolah menengah.
Pada akhir Perang Dunia II, Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Namun, Belanda bertekad
untuk kembali ke Indonesia dan upaya ini didukung oleh pasukan Sekutu yang
memasuki Indonesia setelah Jepang menyerah. Pada tanggal 14 Februari 1946,
sekelompok prajurit Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di Manado dengan
bantuan pemuda setempat dan pejuang kemerdekaan menangkap para perwira KNIL
yang berkebangsaan Belanda. Pada tanggal 16 Februari 1946, Lapian yang
merupakan Residen Manado pada waktu itu ditunjuk menjadi kepala pemerintahan
Republik Indonesia di Sulawesi Utara. Keadaan ini berlangsung hingga 10 Maret
1946, ketika Belanda berhasil menduduki kembali wilayah itu. Lapian ditangkap
dan dipenjarakan di Manado. Dia dipindahkan ke Cipinang di Jakarta tahun 1947
dan kemudian ke Sukamiskin di Bandung tahun 1948. Ia dibebaskan pada tanggal 20
Desember 1949 setelah Konferensi Meja Bundar.
Lapian menjadi penjabat gubernur Sulawesi pada
tanggal 17 Agustus 1950 dan menjabat sampai 1 Juli 1951. Selama masa jabatannya
sebagai pejabat gubernur, Lapian membuka dan mengembangkan daerah di sekitar
Dumoga di Bolaang Mongondow untuk pemukiman dan pertanian. Dia membangun jalan
yang menghubungkan Kotamobagu dan wilayah Molibago. Dia juga membentuk dewan
perwakilan daerah di seluruh wilayah Sulawesi dan melakukan pemilihan pasca-kemerdekaan
pertama di wilayah Minahasa pada tanggal 14 Juni 1951. Dia juga memulai upaya
untuk mencapai perdamaian dengan pemberontakan yang dipimpin oleh Kahar
Muzakar. Lapian meninggal pada tanggal 5 April 1977 di Jakarta dan dimakamkan
di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Baca : Pengertian Suhuf dalam Islam
0 komentar: