Raden Otto Iskandardinata (sering dituliskan pula dengan nama Oto Iskandar Di Nata), dilahirkan di Bojongsoang, Bandung Pada 31 Maret 1897 d...



Raden Otto Iskandardinata (sering dituliskan pula dengan nama Oto Iskandar Di Nata), dilahirkan di Bojongsoang, Bandung Pada 31 Maret 1897 dan meninggal di Mauk, Tangerang, Banten, 20 Desember 1945 pada umur 48 tahun. Ia merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia. 

Otto lahir dari keluarga berada. Ayahnya, Raden Haji Rachmat Adam, adalah seorang kepala desa. Tempat tinggalnya pun merupakan rumah paling besar dan megah se-Bojongsoang. Otto merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara. 

Selain kegiatan pergerakannya pada masa sebelum kemerdekaan, Oto juga aktif pada organisasi budaya Sunda bernama Paguyuban Pasundan. Ia menjadi Sekretaris Pengurus Besar tahun 1928, dan menjadi ketuanya pada periode 1929-1942. Organisasi tersebut bergerak dalam bidang pendidikan, sosial-budaya, politik, ekonomi, kepemudaan, dan pemberdayaan perempuan

Otto pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Bandung pada periode 1921-1924, serta sebagai Wakil Ketua Budi Utomo cabang Pekalongan tahun 1924. Ketika itu, ia menjadi anggota Gemeenteraad (‘Dewan Kota’) Pekalongan mewakili Budi Utomo.

Pada masa penjajahan Jepang, Oto menjadi Pemimpin surat kabar Tjahaja (1942-1945). Ia kemudian menjadi anggota BPUPKI dan PPKI yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai lembaga-lembaga yang membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.

Sebelum kita membahas lebih lanjut, kamu juga bisa mengetahui arti dan makna assalamualaikum. Langsung saja yuk kita bahas.

Pendidikan Raden Otto Iskandardinata

Selayaknya anak orang berada, Otto mengenyam pendidikan yang baik dan dikenal sebagai salah satu siswa yang paling cerdas sejak sekolah dasar, menengah, hingga sekolah pendidikan guru di Bandung dan Purworejo. 

Selain berotak cemerlang,  Otto juga dikenal bernyali tinggi, tidak suka berbasa-basi, terutama dalam mengungkapkan pikiran dan isi hatinya. Pernah pada suatu ketika, Otto sengaja menyematkan dasi di pakaian seragamnya, tidak seperti kawan-kawannya yang lain. Tak pelak, ini membuat guru sekolahnya marah.

Otto menjalani pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan di Kweekschool Onderbouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) Bandung, serta di Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. 

Setelah selesai, Otto menjadi guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada Juli 1920, Otto pindah ke Bandung dan mengajar di HIS bersubsidi serta perkumpulan Perguruan Rakyat. Sebagai seorang guru, Otto menyalurkan perhatiannya dalam bidang pergerakan nasional.

Diangkat Jadi Pahwalan Nasional

Otto Iskandardinata diangkat sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 088/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Monumen Pasir Pahlawan yang berada di Lembang, Kabupaten Bandung Barat didirikan untuk mengabadikan perjuangan Otto Iskandardinata.

Nama Otto Iskandardinata juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia. Di tanah kelahirannya Kabupaten Bandung Otto Iskandardinata merupakan sosok pahlawan yang sangat dihormati. Namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Soreang dan julukannya "Si Jalak Harupat" digunakan sebagai nama stadion



Negara kita memiliki beberapa pahlawan wanita yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan yang kita jalani hingga kini. Dan semua pahlawan wa...


Negara kita memiliki beberapa pahlawan wanita yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan yang kita jalani hingga kini. Dan semua pahlawan wanita itu memperjuangkan hak kaum perempuan yang kala itu hanya diperbolehkan mengurus rumah tangga. Kamu dapat mengetahui selengkapnya dari mesin pencari yandex.


Bahkan untuk mendapat pendidikan formal saja tidak bisa. Jika sudah dirasa cukup umur, remaja wanita di Indonesia akan dinikahkan dengan pria pilihan orang tuanya. Jadi kaum wanita saat itu dapat memilih apa yang terbaik untuk hidupnya.


Kehadiran para pahlawan wanita ini merubah segalanya. Kaum perempuan kini dapat merasakan pendidikan formal hingga kejenjang yang lebih tinggi, bebas memilih pekerjaan sesuai kemampuannya dan memilih pasangan yang dirasa cocok dengan dirinya.


Salah satu pahlawan wanita yang dimaksud adalah Dewi Sartika. Sama halnya dengan Raden Adjeng Kartini, ia berusaha memperjuangkan hak kaum perempuan Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti perempuan Eropa.


Karena Dewi melihat pendidikan hanya diberikan kepada perempuan Eropa khususnya kalangan atas dan harus dapat berbicara menggunakan bahasa Belanda sebagai salah satu syarat yang diberikan. Kala itu, di Batavia (yang sekarang sudah berubah nama menjadi Jakarta) telah dibuka sekolah khusus perempuan pertama di Indonesia pada tahun 1876.


Didirikannya sekolah tersebut tidak membawa perubahan bagi wanita Indonesia, justru semakin tidak diperhatikan.


Pada 16 Januari 1904, pahlawan wanita yang satu ini mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Di tahun 1910, sekolah tersebut direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri.


Disana ia mengajarkan wanita Indonesia lainnya membaca, menulis, berhitung, pendidikan agama dan berbagai keterampilan. Kerja kerasnya membuahkan hasil yang manis, di tahun 1912 sekolah itu telah tersebar di seluruh Jawa Barat sebanyak Sembilan sekolah.


Untuk kedua kalinya, sekolah yang didirikan Dewi Sartika kembali berubah nama sesuai dengan namanya, yakni Sekolah Raden Dewi. Sekolahnya itu berkembang dengan pesat. Namun, masa kependudukan Jepang membuat sekolah tersebut mengalami krisis keuangan dan peralatan.


Itulah bentuk perjuangan dari pahlawan kita Dewi Sartika. Berikut biografi Pahlawan yang berjasa telah bagi kaum wanita ini.


Biografi Dewi Sartika

Pemilik nama asli Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung pada tanggal 4 Desember 1884. Ia terlahir dan besar dari keluarga berdarah Sunda yang ternama. Ayahnya bernama R. Rangga Somanegara dan sang ibunda, R.A. Rajapermas.


Ketertarikannya di dunia pendidikan sudah muncul sejak dirinya kanak-kanak. Ia kerap terlihat bermain peran menjadi seorang guru bersama teman-temannya.


Ditinggal pergi selamanya oleh ayahnya, mengharuskan dia tinggal bersama dengan pamannya di Bandung pada tahun 1899 dan menerima pendidikan sesuai budaya sunda. Mau tidak mau dia harus ikut meski sebelumnya pernah menerima pengetahuan mengenai budaya barat.


Berdasarkan catatan sejarah yang ada, Dewi Sartika menikah pada tahun 1906 dengan Radem Kanduruhan Agah Suriawinata yang merupakan guru dari Sekolah Karang Pamulang. Beliau meninggal pada 11 September 1947 di Cineam dan dimakamkan disana.


Makamnya dipindahkan ke Jalan Karang Anyar, Bandung, setelah dirasa aman dari Agresi Militer Belanda dalam masa perang kemerdekaan.


Berkat perjuangannya tersebut, ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaotamaan Isteri. Dan resmi diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.


Sekian informasi seputar biografi dan bentuk perjuangan pahlawan kaum wanita, Dewi Sartika. Semoga bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan kamu seputar pahlawan Indonesia.

Kamu punya uang kertas pecahan 5000 Rupiah? Coba lihat, apakah kamu mengenal sosok pria yang ada si uang kertas tersebut? Mungkin diantara k...


Kamu punya uang kertas pecahan 5000 Rupiah? Coba lihat, apakah kamu mengenal sosok pria yang ada si uang kertas tersebut? Mungkin diantara kamu tidak banyak yang mengetahuinya. Beliau adalah Perdana Menteri Indonesia dari tahun 1972 sampai 1977, yang bernama Idham Chalid.

 

Untuk mengenal lebih dekat sosok pahlawan yang satu ini, kamu bisa menyimak biografi Idham Chalid. Tapi sebelum itu kamu juga bisa mengetahui profil dari difarina indra, penyanyi muda asal Indonesia. Langsung saja yuk kita bahas.

 

Biografi Idham Chalid

 


Lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921, Idham Chalid adalah putra dari H. Muhammad Chalid, seorang penghulu yang berasal dari Amuntai. Diketahui anak tengah dari 8 bersaudara ini memiliki darah keturunan Melayu Banjar – Bugis.

 

Keluarga Idham berasal dari kalangan bangsawan. Namun ayahnya selalu mengajarkan kepadanya, bahwa kemuliaan seseorang tidak terletak pada darahnya, melainkan dari amal perbuatan, serta darma baktinya.

 

Idham kecil dikenal sebagai anak yang cerdas dan pemberani. Dia juga memiliki bakat berpidato. Saat masih duduk dibangku SR, dia menunjukkan bakatnya tersebut. Setelah menamatkan pendidikan di SR, ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah di tahun 1922.

 

Kala itu, dia juga berkesempatan untuk mendalami bahasa asing, seperti bahasa Arab, bahasa Ingris, dia juga banyak belajar tentang ilmu pengetahuan umum.

 

Terlepas dari situ, dia kembali melanjutkan studinya ke Pesantren Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.

 

Di tahun 1943, Idham meneruskan pendidikannya di Jakarta. Berkat efasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.

 

Dari sinilah dirinya mulai bergabung dengan organisasi-organisasi pemberontok yang dipimpin Hasan Basry, pada tahun 1947.

 

Dirasa sudah cukup umur, Idham menikahi wanita bernama  Masturah (Hj. Masturah) yang berasal dari Kalimantan Selantan. Dari pernikahan keduanya, mereka dikaruniai 8 orang anak.

 

Idham meninggal diusia 88 tahun, pada tanggal 11 Juli 2010 di Jakarta. Namun informasi seputar meninggal istri beliau tidak begitu banyak. Hanya saja alm. ibu Hj Masturah dimakamkan berdampingan di pesantren Darul Qur’an, Cisarua.

 

Pahlawan Nasional

Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono mewakili seluruh pemerintah di Istana Negara menganugerahi KH Dr Idham Chalid sebagai Pahlawan Nasional, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.

 

Dirinya merupakan putera Banjar ketiga yang mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional, setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry.

 

Sebagai Mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua MPR/DPR yang mendapat gelar Pahlawan Nasional karena dianggap berjasa luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara. Sebagai Ketua NU yang menjabat cukup lama, beliau bisa menentramkan kegelisahan warga NU saat itu.

 

Idham tidak hanya aktif dalam membela keagamaan, ia juga berperan penting dan aktif di dunia pendidikan. Sehingga dia mewariska dua yayasan pendidikan agama Islam Darul Maarif di Jakarta Selatan dan Darul Qur'an di Cisarua-Bogor, yang sekaligus juga menjadi tempat peristirahatan terakhirnya bersama sang istri.

 

Bentuk penghargaan yang lainnya yang diberikan kepada beliau atas jasa-jasanya selama hidup, yakni ptret dirinya menghiasi mata uang Rupiah pecahan 5.000 yang diluncurkan oleh Bank Indonesia dan ditetapkan atas Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2016 tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional sebagai Gambar Utama pada Bagian Depan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jika menilik kembali ke masa lalu, dimana kaum perempuan di Indonesia tidak memiliki hak sama sekali, baik dalam mendapatkan pendidikan, ber...


Jika menilik kembali ke masa lalu, dimana kaum perempuan di Indonesia tidak memiliki hak sama sekali, baik dalam mendapatkan pendidikan, berpendapat, bekerja, membaca ayat seribu dinar dan yang lainnya. Namun, kehadiran seorang wanita yang berasal dari Jepara mengubah segalanya.


Hingga saat ini semua wanita diseluruh bumi pertiwi dapat bersekolah setinggi-tingginya, mengutarakan aspirasi, bekerja sesuai passionnya masing-masing, dan lainnya. Sosok wanita yang dimaksud adalah Raden Adjeng Kartini.


Semua wanita di tanah air harus berterima kasih atas perjuangannya. Sejak dini, anak-anak telah dikenalkan akan sosok pahlawan wanita yang satu ini. Dan salah satu lagu wajib nasional diadopsi dari nama serta kisah perjuangannya. Berikut sepenggal syair dari lagu Ibu Kita Kartini, ciptaan WR. Supratman


Ibu kita kartini.. Putri Sejati, Putri Indonesia..Harum namanya.. 

Ibu kita Kartini.. Pendekar Bangsa, Pendekar Kaumnya..untuk merdeka..


Hari Kartini diperingati setiap 21 April. Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 108 tahun 1964 pada 2 Mei 1964, di masa Presiden Soekarno.


Tidak perlu berlama-lama lagi, berikut biografi Raden Ajeng Kartini serta bentuk perjuangnya bagi kaum perempuan Indonesia.


Profil Raden Adjeng Kartini


Raden Adjeng Kartini atau yang yang juga dikenal sebagai Raden Ayu Kartini, lahir di Jepara, 21 April 1879. Ia adalah putrid dari kalangan bangsawan. Ayahnya seorang patih yang diangkat menjadi Bupati Jepara, yaitu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan ibunya bernama M. A. Ngasirah, putrid dari seorang  guru agama di Telukawur, Jepara.


Kartini adalah putri dari istri pertama ayahnya tetapi bukan istri utama. Mengapa demikian?


Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang Wedana di Mayong. Peraturan colonial saat itu mengharuskan seorang Bupati beristrikan seorangbangsawan. Karena M. A. Ngasirah (Ibu kandung Kartini) bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya kembali menikah dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), Keturunan langsung Raja Madura.


Anak ke 5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri ini merupakan wanita yang sangat antusias dengan Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Dia sangat gemar membaca dan menulis, bahkan juga belajar bahasa Belanda.


Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV diangkat bupati di usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberikan Pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kakak Kartini, Sosrokartono adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai dia berusia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS).


Karena beliau bisa berbahasa Belanda, di rumah dia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Hal ini disebabkan ia harus sudah dipingit di usianya yang sudah 12 tahun.



Kartini dijodohkan oleh orangtuanya dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih DjojoAdhiningrat, yang sudah pernah menikah dan telah memiliki tiga istri. Dia menikah pada tanggal 12 November 1903.


Dari hasil pernikahannya tersebut, dia dikaruniai seorang putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904.


Beberapa hari pasca melahirkan putranya, pada tanggal 17 September 1904, Kartini meninggal dunia di usianya yang ke 25 tahun.


Perjuangan RA Kartini untuk Kaumnya


Di usianya yang masih 12 tahun tapi harus dipingit membuat Kartini banyak mengirim surat kepada sahabat penanya dan menceritakan semua keluahannya tentang kehidupan Wanita pribumi khususnya Jawa yang sulit untuk maju.


Salah satunya seperti kebiasaan wanita harus dipingit, tidak bebas menuntut ilmu dan juga adat yang mengekang kebebasan perempuan. Dari buku-buku, koran dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuanberpikir perempuan Eropa.Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada di status sosial yang rendah.


Kartini juga mengungkit isu agama seperti poligami dan alasan mengapa kitab suci harus dihapal dan dibaca tanpa harus dipahami. Bahkan, ada kutipan dari kartini yang berkata, “Agama harus menjaga kita dari pada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu.”


Kartini menginginkan emansipasi, seorang perempuan harus memiliki kebebasan dan kesetaraan baik dalam kehidupan maupun dimata hukum.


Hal tersebutdidukung oleh salah satu sahabat penanya, yaitu Rosa Abendanon. Ia banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Ia juga menerima Leestrommel (paketmajalah yang diedarkan toko buku kepada langganan).


Beberapa kali Kartini mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan. Perhatiannya tidak semata-mata soal emansipasi Wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini meliat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari Gerakan yang lebih luas.


Di saat usianya mengijak 20 tahun, daya nalar Kartini semakin matang. Kartini banyakmembaca buku-buku karya Louis Coperus (De Stille Kraacht), Van Eeden, Augusta de Witt, Multatuli (Max Havelaar dan surat-surat cinta) serta berbagai roman-roman beraliran feminis. Semuanya menggunakan bahasa Belanda.


Tinggal di Jepara membuat Kartini merasa tidak begitu berkembang. Suatu waktu dia ingin melanjutkan sekolahnya di Jakarta atau Belanda. Namun orangtuanya tidak mengizinkannya tapi tidak melarangnya menjadi seorang  guru. Dan dia pun melanjutkan dan menjalani hidupnya di Jepara.


Kartini diminta orangtuanya untukmenikah di usianya ke 24 tahun. Dia pun menyetujuinya dan menikah dengan BupatiRembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Walau telah menikah, suami Kartini memberinya kebebasan dan dukungan untuk tetap menjadi guru dan mendirikan sekolah Wanita. Sekolah yang diadirikan berada di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang atau sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.


Berkat kegigihannya, maka berdirilah sebuah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912 dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah ‘Sekolah Kartini’. Yayasan ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, sorang tokoh Politik Etis.


Beberapa hari setelah melahirkan putranya, Kartini meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.


Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kaum perempuan, kemajuan bangsa dan tanah air, ide-ide yang sudah dia tuangkan dapat dirasakan kaum perempuan Indonesia hingga saat ini. Para perempuan Indonesia telah merasakan perjuangan emansipasi tersebut, telah memperoleh hak-haknya untuk dapat belajar, kesetaraan gender, dan lainnya.

Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri, seperti Tuan EC Adendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH Von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain. Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada tahun 1911 oleh Mr. JH Abedanon yang diberi judul Door Duisternis tot Licht. Kemudian diterjemahkan kebahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru Armijn Pane pada tahun1922 dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang.”


Buku-buku Karya RA Kartini

1. Habis Gelap Terbitlah Terang

2. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya

3. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904

4. Panggil Aku Kartini Saja

5. Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandiri dan suaminya

6. Aku Mau… Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903

Penghargaan yang Diberikan kepada RA Kartini


1. Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 108 tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan tanggal lahir pahlawan yang satu Ini (21 April) sebagai hari besar Nasional yang kemudian dikenal dengan ‘Hari Kartini’.

2. Nama jalan di Belanda.


Itulah biografi Raden Adjeng Kartini. Dan sudah sepantasnya kita menghargai setip perjuangan yang telah dilakukan para pahlawan, sehingga kita bisa seperti saat ini.

  Pasti sudah tak asing bagimu mendegar nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau sering disebut dengan Pangeran Diponegoro. Pangeran Di...

 


Pasti sudah tak asing bagimu mendegar nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau sering disebut dengan Pangeran Diponegoro.

Pangeran Diponegoro adalah pahlawan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau terkenal karena memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa pada tahun 1825-1830 melawan Pemerintah Belanda. Perang yang dipimpinnya tercatat sebagai perang dengan korban terbesar dalam sejarah Indonesia.

Buat kamu yang ingin tau lebih jelas tentang Pangeran Diponegoro, sebelum kita membahas lebih lanjut, kamu juga bisa sambil mendengarkan musik atau lagu chord buih jadi permadani ketika menyimak ulasan ini. Dibawah ini kami telah buat biografi lengkapnya. Yuk ikuti!


Biografi Singkat Pangeran Diponegoro

Nama : Bendara Raden Mas Antawirya

Lahir : Yogyakarta , 11 November 1785

Wafat : Makasar, 8 Januari 1855

Orangtua : Sultan Hamengkubuwono III (Ayah), R.A. Mengkarawati (Ibu)


Profil  Lengkap Pangeran Diponegoro

Sultan Diponegoro merupakan anak sulung dari raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta yaitu Sultan Hamengkubuwono III dengan seorang selir yang bernama R.A. Mangkarawati pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, yang diberi nama Mustahar. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya.

Ayahnya yaitu Sultan Hamengkubuwono III pernah menawarinya untuk mengangkat putra sulungnya menjadi raja, namun Pangeran Diponegoro menyadari kedudukannya yang hanya anak dari selir (istri non permaisuri) dan menolah keinginan dari ayahnya.

Meski Pangeran Diponegoro merupakan keturunan ningrat, beliau lebih suka pada kehidupan yang merakyat sehingga membuatnya lebih suka tinggal di Tegalrejo, yang merupakan tempat tinggal dari eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo dari pada di Keraton. Ia lebih banyak menghabiskan kehidupannya untuk mendalami agama.

Tak sampai disitu, beliau juga pernah melakukan pemberontakan terhadap Keraton yang saat itu dibawah kepemimpinan Hamengkubuwono V (1822). Dimana saat itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwakilan yang ikut mendampingi Hamengkubuwono V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itulah yang tidak disetujui oleh Pangeran Diponegoro.


Sejarah Perang Diponegoro

Perang Diponegoro merupakan salah satu perang terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Indonesia.

Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, sehingga disebut sebagai perang Jawa. Perang ini diawali dengan ketidaksukaan Diponegoro dengan Pemerintah Belanda yang memasang patok ditanah milik Diponegoro yang berada di desa Tegalrejo.

Saat itu, Diponegoro memang sudah muak dengan perlakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasu rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang secara terbuka menentang Belanda banyak mendapat simpati dan dukungan rakyat. Sehingga atas saran dari pamannya yaitu GPH Mangkubumi, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas disebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanan terhadap Belanda adalah Perang Sabil, yaitu perang menghadapi kaum kafir.

Semangat perang Sabil yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro membawa pengaruh besar terhadap rakyat hingga meluas ke wilayah Pacitan dan kedu.

Bahkan, seorang tokoh agama di Surakarta, yakni Kiyai Maja ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Perjuangan Pangeran Diponegoro pun didukung oleh Sunan Pakubuwana VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro, Belanda mengalami kerugian banyak karena tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta Gulden.

Berbagai cara terus diupayakan oleh Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan benda membuat sayembaranya, barang siapa yang dapat menangkap sayembaranya akan mendapatkan hadiah 50.000 Gulden, hingga akhirnya berhasil menangkap Diponegoro pada tahun 1830.


Penangkapan Pangeran Diponegoro

Pada tanggal 16 Februari 1830, Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagalen. Saat itu Cleerens mengusulkan Pangeran untuk pengikutnya berdiam di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

Tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro untuk menghentikan perang. Permintaan itu ditolak oleh Diponegoro. Namun, Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.

Di hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Unggaran, lalu dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro, perang dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro, yaitu Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis.

Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa banyak memakan korban dari pihak pemerintah Hindia sebanya 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, Pribumi sebanyak 7.000 dan 20.000 orang Jawa. Akibat perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Bagi sebagian kalangan dalam Keraton Ngayoyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai pemberontak sehingga konon anak cucu nya tidak diperbolehkan masuk ke dalam Kraton. Namun, ketika Kraton dalam kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono IX memberikan amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan memberikan semangat kebangsaan yang dimiliki Pangeran Diponegoro kala itu, kini anak cucu keturunan Dipnegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka tanpa rasa takut akan diusir lagi.


Periode Penting Pangeran Diponegoro

- 20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kangjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.

- 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.

- 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.

- 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.

- 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.

- 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.


Penghargaan Pangeran Diponegoro

Adapun penghargaan yang dicapai oleh Pangeran Diponegoro, yakni:

-Diakui sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.

- UNESCO menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World) pada tanggal 21 Juni 2013.


Istri Pangeran Diponegoro

Dalam hidupnya Pangeran Diponegoro menikah sebanyak 9 kali. Adapun wanita yang dinikahinya, antara lain:

1. B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan

2 R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang

3. R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta

4. R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir

5. R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu

6. R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan

7. R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan

8. R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II

9. Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar)

Keseluruhannya anak Pengeran Diponegoro dari kesembilan istrinya, yaitu 12 putra dan 10 orang putri. Semuanya kini hidup tersebar di seluruh dunia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku bahkan di Australia, Serbia, Jerman, Belanda, dan Arab Saudi.

Sekian penjelasan lengkap terkait biografi Pangeran Diponegoro. Terimakasih telah mengikuti blog kami. Sampai jumpa.

Bung Tomo atau Sutomo, merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia, yang lahir di daerah Surabaya, Provinsi Jawa Timur, tanggal 3 Oktober,...

Biografi Bung Tomo, Lengkap dengan Kehidupan Pribadi

Bung Tomo atau Sutomo, merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia, yang lahir di daerah Surabaya, Provinsi Jawa Timur, tanggal 3 Oktober, tahun 1920. Sutomo meninggal pada tanggal 7 Oktober, tahun 1981, pada usia 61 tahun. Ia meninggal di Padang Arafah, Arab Saudi.

Bung Tomo merupakan pahlawan yang sangat indentik dengan perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan seorang motivator bagi rakyat Indonesia, untuk melawan penjajah, yang menyebabkan peristiwa pertempuran Surabaya 10 November 1945.

Hingga pada saat ini 10 November diperingati dengan hari pahlawan. Sebelum kita membahas lebih lanjut, kamu juga bisa mengetahui profil dari Kenny austin, aktor muda asal Indonesia. Langsung saja yuk kita bahas.

Sejarah kecil Bung Tomo

Bung Tomo halir pada kampung yang bernama Blauran, yang terletak di pusat kota Surabaya. Ayah Bung Tomo bernama Kartawan Tjiptowidjojo. Ayah Bung Tomo merupakan pegawai kelas menengah yang mengabdi di pegawai pemerintahan.

Jabatan ayahnya pada saat itu adalah staf pribadi, disuatu  pabrik swasta bidang impor-ekspor milik Belanda. Ayah Bung Tomo ternyata memiliki hubungan darah dengan beberapa sahabat dekat dari Pangeran Diponegoro.

Sedangkan ibu Bung Tomo, merupakan keturunan dari campuran antara Jawa Tengah, Madura dan Sunda. Sebelum ibunya pindah kedaerah Surabaya, ibu Bung Tomo bekerja pada salah satu perusahaan mesin jahit Singer, bagian distributor lokal.

Sedangkan sewaktu muda, ibunya pernah bekerja di kepolisian kotapraja, dan juga pernah menjadi anggota Asosisi Sarekat Islam.

Bung tomo mulai kecil memiliki pendidikan yang sangat baik, ia juga mendapatkan pendidikan dari orangtuanya sewaktu di rumah. Bung tomo memiliki ciri khas ketika ia berbicara, ia akan penuh semangat, dan ia lebih suka berterus terang dalam berbicara.

Pada usia 12 tahun Bung Tomo keluar dari pendidikan ia jalani, di MULO. Pada saat itu Bung Tomo melakukan usaha kecil-kecilan untuk menghidupi keluarganya. Kemudian Bung Tomo menyelesaikan pendidkannya di HBS, akan tetapi secara resmi, ia tidak lulus.

Bung Tomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Ia mengatakan bahwa nilai-nilai filsafat yang ia miliki tersebut, ternyata didapatkannya dari KBI, dan juga nilai-nilai nasionalis yang ada pada dirinya ia dapatakan dari kakeknya.

Hal tersebut ternyata membuat Bung Tomo, mendapatkan pengetahuan yang lebih, dari pada pendidikan formal yang tidak ia dapatkan. Pada usia 17 tahun, ia sudah berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda, yang berhasil meraih peringkat Pandu Garuda.

Untuk menjadi peringkat di Pandu Garuda, sangatlah sulit. Sebelum penjajahan jepang, orang-orang yang mendapatkan peringkat pada Pandu Garuda hanya berjumlah 3 orang di Indonesia.

Tokoh Perjuangan Pertempuran 10 November 1945

Bung Tomo merupakan salah satu tokoh yang berperan sebagai penggerak, dan pembangkit semangat juang Surabaya pada pertempuran 10 November.

Pada saat itu daerah Surabaya digempur oleh Inggris, yang baru saja datang, untuk membebaskan tawanan Eropa yang di tahan oleh Jepang, dan melucuti senjata dari pihak Jepang, yang waktu itu kalah dalam perang dunia ke 2,   

Bung tomo pada saat itu meneriakkan semangat perjuangannya, hingga banyak disiarkan melalui siaran radio. Dari salah satu pengalamannya sebagai jurnalis, ia mendirikan radio pemberontakan yang berguna untuk mempersatukan semangat perjuangan warga Surabaya.

Pada peristiwa pertempuran 10 November, Indonesia memang menderita kekalahan, akan tetapi rakyat Surabaya berhasil mendorong mundur tentara Inggris pada saat itu.

Kehidupan Pribadi Bung Tomo

Pahlawan Nasional Indonesia, yang bernama Bung Tomo menikah dengan Sulistina, yang merupakan perempuan asal Malang. Ia sangat mendalami kehidupannya sebagai seorang muslim, akan tetapi ia tidak mau menyombongkan kealimannya tersebut, dalam beragama.

Sebelum Bung Tomo menghembuskan nafas terakhirnya, ia sempat menyiapkan disertasinya tentang peran agama, di pembangunan tingkat desa. Ia kemudian meninggal pada saat menunaikan ibadah haji, di Padang Arafah, 7 Oktober 1981.

Berikut tadi merupakan biografi, sejarah, hingga kepribadian Bung Tomo yang perlu Anda ketahui, Pahlawan nasional Indonesia satu ini merupakan sosok yang tidak sombong, dan tidak suka menonjolkan diri. Semoga artikel ini membantu Anda.