Setiap Memperingati hari KemerdekaanRepbulik Indonesia identik dengan pengibaran merah putih. Rupanya, ada sosok
perempuan dibalik bendera Republik Indonesia tersebut.
Perempuan bernama Fatmawati itu merupakan penjahit
bendera Pusaka. Fatmawati merupakan istri Presiden Soekarno. Kala itu,
Fatmawati turut menjadi saksi kisah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Seperti apa sebenarnya sosok Fatmawati yang
sering kita dengar saat belajar sejarah ini? Berikut ini kami berikan biografi
dari Fatmawati.
Biografi Fatmawati
Fatmawati Soekarno yang dijuluki sebagai “The
First Lady” lahir di Pasar Padang Bengkulu pada 5 Februari 1923. Dia merupakan
putri semata wayang dari pasangan Hassan Din dan Siti Chadidjah. Meski putri
tunggal, bukan berarti Fatmawati hidup dengan bergelimang harga dan kemanjaan.
Justru, kondisi ekonomi orangtuanya tidak semulus yang dikira.
Sedihnya keadaan finasial keluarga saat itu
membuat Fatmawati harus berpindah sekolah dan rumah. Dia pernah menenyam
pendidikan di Sekolah di Tingkat II, Hollandsh Indlandsche School (HIS),
kemudian mereka tinggal di Palembang, dan akhirnya tinggal di Curup, sebuah
kota yang berada di antara Lubuk Linggau dan Bengkulu.
Sejak kecil Fatmawati dibekali dengan
nilai-nilai agama oleh keluarganya, terutama kepiawaiannya dalam melantunkan
ayat suci Al-Quran. Beliau juga pandai bergaul dan aktif mengurus organisasi
Muhammadiyah. Dari Organisasi inilah yang menjadi awal pertemuan Fatmawati
dengan Ir. Soekarno.
Kisah Fatmawati dan Soekarno
Pada bulan Agustus 1938, Soekarno
diasingkan ke Bengkulu karena dianggap membahayakan pemerintah Kolonial
Belanda. Meskipun diasingkan, Bapak Presiden yang satu ini tetap aktif
melakukan kegiatan dan bertemu dengan masyarakat di sana. Termasuk berkenalan dengan
ayah Fatmawati yakni H. Hassan Din yang kemudian memintanya untuk menjadi guru.
Di sana, Fatmawati juga berstatus sebagai murid dan masih berusia 15 tahun.
Lulus dari Muhammadiyah, Soekarno
menawarkan Fatmawati untuk bersekolah di Rooms Katholik Vakchool. Walaupun terhalang
persyaratan masuk, Sang Proklamator menjamin akan mengurus semua keperluan
sekolah dan mengizinkan Fatmawati tinggal di rumahnya.
Ketika anak angkatnya Ratna Djuami
melanjutkan pendidikan ke Yogjakarta, istri pertama Soekarno, Bu Inggit Ikut
menemani. Saat kepergiaan istrinya itu, Soekarno dan Fatmawati pun saling
mengenal satu sama lain. Akibat pertemuan itu membuat Soekarno jatuh cinta
karena kecantikan alamiah yang dimiliki oleh Fatmawati.
Perasaan Soekarno yang begitu mendalam
kepada Fatmawati membuatnya rela melepaskan Inggit Garnasih. Inggit adalah
istri pertama Presiden Soekarno yang tulus mendampingi Sang Proklamator
menempuh perjalanan hidup selama 20 tahun.
Bung karno menikahi Fatmawati pada 1 Juni
tahun 1943. Ketika Fatmawati masih
berusia sekitar 20 tahun. Namun saat pernikahan itu Bung Karno mengutus
seorang wakil, Sardjono. Alasannya jarak jauh antara Bengkulu dan Jakarta.
Setelah resmi menjadi Istri Bung karno, Fatmawati berangkat ke Jakarta untuk
mendamping Presiden pertama Indonseia dalam perjalanan merebut kemerdekaan dari
negara Asing yang menjajah Indonesia.
Awal Fatmawati menikah dengan Sukarno
ketika Jepang mulai kewalahan menghadapi Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya
atau Perang Dunia Kedua. Peluang Indonesia untuk merdeka pun mulai terbuka.
Kisah Haru di Balik Proses Menjahit Bendera Pusaka
Setahun pernikahannya itu, Jepang
menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Bendera Merah putih bisa dikibarkan
dan lagu kebangsaan Indonesia Raya diizinkan berkumandang.
Fatmawati kemudian berinisiatif untuk
membuat bendera Merah untuk dikibarkan di Pegangsaan 56. Pada waktu itu tidak
mudah mendapatkan kain merah dan putih di luar. Fatmawati tidak mudah
mendapatkan kain untuk bendera.
Diketahui Fatmawati berhasil mendapatkan
kain berkat bantuan Shimizu, orang yang ditunjuk oleh Pemerintah Jepang sebagai
perantara dalam perundingan Jepang dan Indonesia.
Shimizu mengusahakan lewat seorang pembesar
Jepang yang merupakan kepala gudang di Pintu Air, di depan eks Bioskop Capitol.
Bendera itulah berkibar di Pegangsaan Timur saat Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia.
Fatmawati menjahit bendera dengan
menggunakan katun Jepang dengan ukuran 274 x 196 cm. Sebagai sosok yang tangguh,
Fatmawati menjahit bendera Merah Putih dengan mesin jahit Singer yang
dijalankan dengan tangannya. Saat itu, dia tengah hamil tua dan dokter melarang
untuk mengoperasikan mesin jahit dengan menggunakan kaki. Fatmawati tetap
bersekukuh untuk menyelesaikan jahitan bendera Merah Putih itu dalam waktu dua
hari. Ketika Fatmawati menjahit bendera dengan bercucuran air mata hingga membasahi
bendera pusaka itu.
Pada tahun 1946 sampai 1968, bendera Sang
Saka yang dijahit oleh Fatmawati ini dikibarkan dalam upacara kenegaraan. Sampai
akhirnya bendera tersebut digantikan oleh duplikatnya karena bendera tersebut
sudah robek.
Untuk mengenang perjuangan Ibu negera sang penjahit
bendera pusaka, bendera itu selanjutnya disimpan di tempat terhormat di Monumen
Nasional.
Kehidupan Cinta Fatmawati
Sebagai Ibu Negara, Fatmawati dikenal
sebagai seseorang yang berperan dalam mendukung kemajuan perempuan. Dia aktif
dalam kegiatan sosial mulai dari pemberantasan buta huruf, mendorong kegiatan
kaum perempuan dari segi pendidikan dan ekonomi.
Walaupun, dia menjadi istri seorang
Presiden Indonesia tak serta merta membuat kehidupan Fatmawati Lantas berjalan
mulus begitu saja.
Fatmawati dan Soekarno dikaruniai lima
orang anak yakni Fatmawati menjahit sebuah bendera dari dua potong kain.
Sepotong kain putih dan kain merah. Kehidupan rumah tangganya bersama Bung
Karno ternyata penuh lika-liku.
Bung karno beberapa kali menjatuhkan hati
pada perempuan lain. Bahkan Fatmawati sempat keluar dari Istana Negara karena
hal itu.
Akhir HAyat Fatmawati
Fatmawati melakukan perjalanan di tahun
1989. Perjalanan di dampingi oleh Dien Soemaryo kakak ipar istri Bung Hatta.
Sayangnya, beliau meninggal karena serangan jatung ketika melakukan transit di
Kuala Lumpur, Malaysia, sebelum kembali ke tanah air. Dia dimakamkan di Tempat
Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.
Demikian biografi fatmawati, Ibu Negara
yang mendamping Bung Karno hingga Indonesia merdeka.
0 komentar: