Setelah lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda. Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya).
Budi Utomo (ejaan van Ophuijsen: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr.Soetomo dan para mahasiswa lanjut S2 STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei 1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa ikhlas hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua" yang harus sabar memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar, dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan keutamaan ikhlas kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
Dr. Soetomo (lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 30 Mei 1938 pada umur 49 tahun...
Biografi Dr. Soetomo - Pendiri Organisasi Budi Utomo
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bendera merah putih dikibarkan oleh tiga orang petugas. Berikut ini tiga tokoh pengibar bender...
Tokoh Pengibar Bendera Merah Putih Pertama
Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bendera merah putih dikibarkan oleh tiga orang petugas. Berikut ini tiga tokoh pengibar bendera merah putih pertama kali pada 17 Agustus 1945.
1. R.M
Abdul Latief Hendraningrat
RM Abdul Latief Hendraningrat lahir 15 Februari 1911 di
Jakarta merupakan prajurit Pembela Tanah Air (PETA). Latief merupakan golongan
muda yang menyakinkan Soekarno dan Hatta untuk mempercepat kemerdekaan
Indonesia di peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945. Latief
banyak belajar tentang dunia kemiliteran di PETA pada masa pendudukan Jepang.
Dia komando kompi dengan pangkat Sudanco. Latief berperan sebagai pengibar
bendera merah putih pertama kali di Jalan Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus
1945. Latief merupakan komandan Komando Kota pada tahun 1948 dikala Belanda
menyerbu Jogyakarta. Latief juga merupakan perumus taktik Serangan Umum 1 Maret
1949. Beliau meninggal dunia pada tanggal 14 Maret 1983 di Jakarta dalam usia
72 tahun.
Baca : Bacaan dzikir mengobati sakit hati
2. Suhud Sastro Kusumo
Suhut Sastro Kusumo yang lahir pada tahun 1920 adalah
anggota Barisan Pelopor bentukan Jepang. Tiga hari menjelang pembacaan teks
proklamasi, tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1945, Suhud diminta menjaga
keluarga Soekarno dari segala ancaman. Suhud tidak menaruh curiga pada Soekarni
dan Chairul Saleh yang membawa Soekarno dalam peristiwa Rengasdengklok pada
tanggal 16 Agustus 1945. Saat Soekarno pulang pada malam harinya, Suhud diminta
untuk mempersiapkan pengibaran bendera merah putih. Pada upacara bendera di
Jalan Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945, Suhud Sastro Kusumo bertugas
membentangkan bendera merah putih yang pertama. Suhud meninggal dunia pada
tahun 1986 dalam usia 66 tahun.
Baca juga : Konjungsi (Pengertian, jenis dan contoh)
3.
Surastri Kusumo Trimurti
Surastri Kusumo
Trimurti yang lahir pada tanggal 11 Mei 1912 di Boyolali, Jawa Tengah merupakan
satu-satunya perempuan yang berperan dalam pengibaran bendera pertama. SK
Trimurti adalah guru sekolah dasar yang memiliki pendidikan lengkap hingga
menjadi mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dalam masa
pergerakan, SK Trimurti juga berperan aktif dalam Partai Indonesia (Partindo).
SK Trimurti kritis melalui tulisannya untuk berjuang melawan pemerintah
kolonial. SK trimurti pernah dipenjara karena membuat leaflet yang berisikan
ujaran antikolonialisme.
Setelah keluar dari penjara, SK Trimurti menikah
dengan Sayuti Melik yang mendirikan Koran Pesat di Semarang, yang pernah
dibredel oleh pemerintah Jepang. Suaminya Sayuti Melik adalah tokoh yang
mengetik naskah teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. SK Trimurti sendiri
diminta Soekarno sebagai pengerek bendera, namun permintaan Soekarno ditolaknya
karena pengerek bendera harus dilakukan oleh seorang prajurit. Akhirnya SK
Trimurti berperan sebagai pembawa bendera pada pengibaran bendera merah putih
pertama kali tersebut.
dr. Wahidin Soedirohoesodo (lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852 – meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun, ...
Biografi Wahidin Soedirohoesodo – Penggagas Budi Utomo
dr. Wahidin Soedirohoesodo (lahir di Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852 – meninggal di Yogyakarta, 26 Mei 1917 pada umur 65 tahun, EYD: Wahidin Sudirohusodo) adalah salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Namanya selalu dikaitkan dengan Budi Utomo karena walaupun ia bukan pendiri organisasi kebangkitan nasional itu, dialah penggagas berdirinya organisasi yang didirikan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta itu.
Baca : Tips Lulus S2 Tepat Waktu
Dokter lulusan STOVIA ini sangat senang bergaul
dengan rakyat biasa, sehingga tak heran bila ia mengetahui banyak penderitaan
rakyat. Ia juga sangat menyadari bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat
akibat penjajahan Belanda. Menurutnya, salah satu cara untuk membebaskan diri
dari penjajahan, rakyat harus cerdas. Untuk itu, rakyat harus diberi kesempatan
mengikuti pendidikan di sekolah-sekolah. Sebagai dokter, ia sering mengobati
rakyat tanpa memungut bayaran. Dua pokok yang menjadi perjuangannya ialah
memperluas pendidikan dan pengajaran dan memupuk kesadaran kebangsaan.
Wahidin Sudirohusodo sering berkeliling kota-kota besar di
Jawa mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat sambil memberikan gagasannya tentang
"dana pelajar" untuk membantu pemuda-pemuda cerdas yang tidak dapat
melanjutkan sekolahnya. Akan tetapi, gagasan ini kurang mendapat tanggapan.
Gagasan itu juga dikemukakannya pada para pelajar STOVIA di Jakarta tentang
perlunya mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan
meninggikan martabat bangsa. Gagasan ini ternyata disambut baik oleh para
pelajar STOVIA tersebut. Akhirnya pada tanggal 20 Mei 1908, lahirlah Budi Utomo.
Baca : Keutamaan Perilaku Ikhlas
Budi Utomo (ejaan van Ophuijsen: Boedi Oetomo)
adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr.Soetomo dan para
mahasiswa STOVIA yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji pada tanggal 20 Mei
1908. Digagaskan oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo. Organisasi ini bersifat sosial,
ekonomi, dan kebudayaan tetapi tidak bersifat politik. Berdirinya Budi Utomo
menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun
pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan
berpendidikan Jawa. Saat ini tanggal berdirinya Budi Utomo, 20 Mei, diperingati
sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Sugondo Djodjopuspito yang lahir 22 Februari 1905 adalah tokoh pemuda tahun 1928 yang memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan menghasilk...
Biografi Sugondo Djodjopuspito – Tokoh Sumpah Pemuda
Sugondo Djodjopuspito yang lahir 22 Februari 1905 adalah tokoh pemuda tahun 1928 yang memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda. Pada waktu semua orang ikut dalam organisasi pemuda, pemuda Sugondo masuk dalam PPI atau Persatuan Pemuda Indonesia dan tidak masuk dalam Jong Java.
Pada tahun 1926 saat Kongres Pemuda I, Sugondo ikhlas ikut serta dalam kegiatan tersebut. Tahun 1928, ketika akan ada Kongres Pemuda
II, Sugondo terpilih jadi Ketua atas persetujuan Drs. Mohammad Hatta sebagai
ketua PPI dan Ir. Sukarno. Sugondo terpilih karena dia anggota PPI sebagai
wadah pemuda independen dan bukan berdasarkan kesukuan.
Kongres Pemuda 1928 yang berlangsung tanggal
27-28 Oktober 1928 di Jakarta menghasilkan Sumpah Pemuda 1928. Para Pemuda
setuju dengan Trilogi: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: INDONESIA. Selain
trilogi itu, juga telah disepakati Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan Wage
Rudolf Supratman.
Dalam kesempatan ini, WR Supratman berbisik
meminta izin kepada Sugondo agar boleh memperdengarkan Lagu Indonesia Raya
ciptaannya. Sugondo secara elegan dan diplomatis dengan bisik-bisik kepada WR
Supratman dipersilahkan memperdengarkan lagu Indonesi raya dengan biolanya.
Hal ini tidak banyak yang tahu mengapa WR
Supratman memainkan biola pada waktu itu. Kata-kata Indonesia Raya dan Merdeka
tidak jelas diperdengarkan (karena menggunakan biola). Hal tersebut karena
kongres dijaga oleh Polisi Hindia Belanda, dan agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
Pada 23 April 1978, Sugondo Djodjopuspito wafat dan kemudian dimakamkan di Pemakamam Keluarga Besar Tamansiswa Taman Wijayabrata di Celeban Umbulharjo Yogyakarta. Atas jasanya, Pemerintah memberikan Bintang Jasa Utama tahun 1978. Selain itu, ia juga mendapat Satya Lencana Perintis Kemerdekaan pada tahun 1992.
Sudah banyak pelaku sejarah setelah 1928 yang
mendapat pengakuan Pahlawan Nasional, tetapi beliau hingga belum mendapat
pengakuan Pahlawan Nasional, mengingat setiap tahun peristiwa Sumpah Pemuda
1928 selalu diperingati secara resmi. Pihak Kemenpora sejak Juli 2012 sedang
mengusungnya menjadi Pahlawan Nasional.
Baca : Artikel Penjelasan Lengkap Kuliah S2 Beserta Syaratnya
Sayyid Muhammad Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar atau H Mutahar yang lahir 5 Agustus 1916 di Semarang adalah neg...
Biografi H. Mutahar – Pencetus Pasukan Pengibar Bendera Pusaka
Sayyid Muhammad
Husein bin Salim bin Ahmad bin Salim bin Ahmad al-Muthahar atau H Mutahar yang
lahir 5 Agustus 1916 di Semarang adalah negarawan Indonesia pencetus lahirnya
Paskibraka atau Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Mutahar lahir dari keluarga Arab Indonesia yang
mapan dan termasuk sayyid juga dikenal anti-komunis. Beliau dikenal sebagai
komponis yang banyak menciptakan lagu nasional dan kepanduan, diantaranya Hyme
Syukur dan Hymne Pramuka.
H Mutahar pernah mengecap pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada 1946-1947. Pada 1945 H Mutahar bekerja sebagai
Sekretaris Panglima Angkatan Laut RI di Yogyakarta, lalu pegawai tinggi
Sekretariat Negara di Yogyakarta (1947).
Mutahar diketahui menguasai paling tidak 6 bahasa
secara aktif. Dia pun diangkat jadi Duta Besar RI di Vatikan (1969-1973) dan
terakhir sebagai Pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri (1974).
Baca : Fakta menarik Andmesh Kamaleng
Beliau tokoh utama Pandu Rakyat Indonesia yang
dilebur menjadi Gerakan Pramuka. Beliau pun yang mencetuskan Paskibraka paska
ditugasi menyusun upacara pengibaran bendera pada hut RI pertama 17 Agustus
1946.
Mutahar ditugasi Presiden Sukarno terkait
penyelamatan Bendera Pusaka agar tidak jatuh ke tangan musuh saat agresi
militer Belanda 2 di Yogyakarta pada 19/12/1948. Mutahar pun mengamankan
Bendera Pusaka dengan memisahkan kedua warna Bendera Pusaka tersebut.
Agresi Belanda berbuntut pengasingan Presiden
Sukarno dan Bung Hatta ke Bangka. Mutahar pun ditahan di sel Semarang. Saat
jadi tahanan kota, Mutahar melarikan diri ke Jakarta dan menginap di rumah
Sutan Syahrir lalu kos di rumah Kapolri Sukanto Tjokrodiatmodjo.
Pertengahan Juni 1948, Mutahar menerima surat
perintah dari Bung Karno agar Bendera Pusaka diserahkan kepada Presiden di
Muntok Bangka lewat Soedjono delegasi dari Republik Indonesia yang boleh
mengunjungi Presiden di tempat pengasingan.
Mutahar menjahit kembali dua bagian Bendera Pusaka
dengan meminjam mesin jahit dari seorang istri dokter. Mutahar menjahit persis
di lubang jahitan asli. Bendera itu kemudian dibungkus kertas koran dan
diserahkan kepada Soedjono.
Sudjono merahasiakan perjalanan Bendera Pusaka
dari Jakarta ke Bangka. Bung Karno pun melalui pemerintah Republik Indonesia
menganugerahkan Bintang Maha Putera tahun 1961 atas jasanya menyelamatkan
Bendera Pusaka.
Baca juga : Alasan pentingnya kuliah S2 untuk masa depan
Pada 1967, sebagai direktur jenderal pemuda dan
Pramuka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Mutahar diminta Presiden
Soeharto menyusun tata cara pengibaran Bendera Pusaka yang dikibarkan oleh satu
pasukan.
Beliau membuat formasi pasukan yang dibagi menjadi
3 kelompok yaitu, kelompok 17 sebagai pengiring atau pemandu; kelompok 8
sebagai kelompok inti pembawa bendera; kelompok 45 sebagai pengawal, yang
dipakai hingga saat ini.
Sebagai komponis, sederet lagu nasional telah dia
ciptakan. Karya terakhirnya ‘Dirgahayu Indonesiaku’ menjadi lagu resmi hut RI
ke-50. Mutahar meninggal 9 Juni 2004 pada usia 88 tahun dan dimakamkan di
Pemakaman Jeruk Purut Jakarta.
Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60 - 6...
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa atau Pangeran Surya (Lahir di Kesultanan Banten, 1631 – meninggal di Batavia, Hindia Belanda, 1692 pada umur 60 - 61 tahun) adalah Sultan Banten ke-6. Ia naik takhta pada usia 20 tahun menggantikan kakeknya, Sultan Abdul Mafakhir yang wafat pada tanggal 10 Maret 1651, setelah sebelumnya ia diangkat menjadi Sultan Muda dengan gelar Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati, menggantikan ayahnya yang wafat lebih dulu pada tahun 1650.
Baca : Cara Mengetahui Bakat Anak Sejak Dini
Sultan Ageng Tirtayasa adalah putra dari Sultan
Abu al-Ma'ali Ahmad (Sultan Banten periode 1640-1650) dan Ratu Martakusuma.
Sejak kecil ia bergelar Pangeran Surya, kemudian ketika ayahnya wafat, ia
diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Dipati. Setelah kakeknya
meninggal dunia pada tanggal 10 Maret 1651, ia diangkat sebagai Sultan Banten
ke-6 dengan gelar Sultan Abu al-Fath Abdulfattah. Nama Sultan Ageng Tirtayasa
berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di
Kabupaten Serang).
Keluarga - Sultan Ageng Tirtayasa memiliki 18 orang putera :
Sultan Abu Nashar Abdulqahar
Pangeran Purbaya
Tubagus Abdul
Tubagus Rajaputra
Tubagus Husaen
Tubagus Ingayudadipura
Raden Mandaraka
Raden Saleh
Raden Rum
Raden Sugiri
Raden Muhammad
Tubagus Rajasuta
Raden Muhsin
Arya Abdulalim
Tubagus Muhammad Athif
Tubagus Wetan
Tubagus Kulon
Raden Mesir
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan
Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap
Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang
merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan
menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa
ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi,
Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah
baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf
sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya,
Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan
Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa
mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan
Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan Saint-Martin.
Baca juga : Biodata Andmesh Kamaleng
Pada tahun 1683, Sultan Ageng tertangkap dan
dipenjarakan di Batavia. Ia meninggal dunia dalam penjara dan dimakamkan di
Komplek Pemakaman Raja-raja Banten, di sebelah utara Masjid Agung Banten,
Banten Lama. Atas jasa-jasanya pada negara, Sultan Ageng Tirtayasa diberi gelar
pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun
1970, tanggal 1 Agustus 1970. Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga kemudian
diabadikan menjadi nama salah satu perguruan tinggi negeri di Banten,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan sultan ke-3 yang memerintah Kesultanan Mataram. Di bawah kempemimpinannya, Mataram berkembang cukup pe...
Biografi Sultan Agung Hanyokrokusumo, Pahlawan dari Bumi Mataram
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan sultan ke-3 yang memerintah Kesultanan Mataram. Di bawah kempemimpinannya, Mataram berkembang cukup pesat dan menjadi kerajaan besar di Nusantara. Salah satu perjuangan beliau yang membekas adalah perlawanannya terhadap VOC di Batavia. Berikut biografi Sultan Agung Hanyokrokusumo beserta perjuangannya:
Memiliki nama kecil Raden Mas Jatmiko
Dalam buku Sejarah Raja-Raja Jawa (2011) oleh
Purwadi, Sultan Agung Hanyokrokusumo memiliki nama kecil Raden Mas Jatmiko yang
berarti sopan dan rendah hati. Beliau juga diberi nama Pangeran Rangsan yang
artinya bergairah. Sultan Agung merupakan anak pertama dari Prabu Hadi
Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati putri dari Prabu Wijaya.
Sultan Agung lahir di Mataran (Yogayakarta
tepatnya Kota Gede) pada 14 November 1593. Sultan Agung merupakan penguasa yang
berusaha mengembangkan agama Islam di pulau Jawa. Latar belakang pendidikan
yang diterima beliau adalah pengetahuan agama yang didapat dari beberapa wali.
Wali yang sangat berperan dan berpengaruh terhadap Sultan Agung adalah Sunan
Kalijaga. Sunan Kalijaga dijadikan guru dan dianggap sebagai penasehat atau
pembimbung Sultan Agung di bidang Agama. Dari Sunan Kalijaga, beliau
mendapatkan ajaran tentang agama.
Seperti raja-raja Mataram lainnya, Sultan Agung
memiliki dua orang permaisuri, yaitu:
1.
Kanjeng
Ratu Mas Tinumpuk, putri dari Suktan Cirebon. Melahirkan keturunan Raden Mas
Syahwawrat atau disebut Pangeran Alit. Kanjeng Ratu Mas Tinumpuk mendapatkan
gelar Kanjeng Ratu Kulon sebagai permaisuri yang dituakan dan memiliki
kedudukan lebih tinggi dibandingkan permaisuri yang lain.
2. Kanjeng Ratu Batang, putri Pangeran Upasanta dari Batang. Melahirkan Raden Mas Sayidin alias Amangkurat I. Mendapatkan gelar Kanjeng Ratu Wetan sebagai permaisuri muda.
Baca : Doa untuk Orang yang Sakit
Kepribadian Sultan Agung
Berdasarkan
buku Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (2002) oleh H.J De
Graaf, Sultan Agung terkenal sebagai raja Mataram yang tangkas, cerdas, dan
taat agama. Sultan Agung juga dikenal sebagai raja kuat, bijaksana, cakap, dan
cerdik dalam menjalankan pemerintahan hingga kehidupan perekonomian Mataram
berkembang pesat dari hasil bumi yang melipah. Wilayah kekuasaan Mataram juga
terus meluas seiring pemerintahannya. Sehingga Sultan Agung dikenal sebagai
raja Mataram yang cakap melakukan ekspansi wilayah.
Perjuangan Sultan Agung melawan VOC
Sultan
Agung menyadari bahwa adanya Belanda di Batavia dapat membahayakan kesatuan
negara yang meliputi Pulau Jawa.
Untuk melawan VOC, Mataram giat melatih
satuan-satuan angkatan perangnya.
Berikut
taktik Sultan Agung untuk merebut Batavia:
·
Menjepit
Batavia dari darat dan dari laut, serangan dilancarkan dalam waktu yang tepat
dan bersamaan.
·
Angkatan
laut Mataram menyamar sebagai pedagang bahan makanan dan membawa beras, ternak,
dan bahan lainnya untuk dijual ke VOC.
·
Serangan
mendadak oleh angkatan laut Mataram terhadap benteng pertahanan di tepi laut.
Sedangkan serangan dalam kota dilakukan oleh angkatan darat disebelah selatan.
·
Dengan
siasat tersebut, Belanda tidak bisa bergerak bila VOC lari ke arah timur dan
akan terbenam ke dalam rawa-rawa. Jika lari ke arah barat akan jatuh ke
pangeran Jayakarta dan Banten.
Baca Juga : Doa Sehari - hari untuk Anak yang Mudah dihafalkan
Meski tidak membawa keberhasilan untuk merebut Batavia secara keseluruhan, tekad dan semangat untuk mengusir VOC menjadi buktu Sultan Agung. Bahkan sampai akhir hayatnya, Sultan Agung tetap tidak mau berdamai dengan VOC meskipun diberikan tawaran yang cukup menjanjikan. Sultan Agung wafat di Mataram (persisnya di Bantul) pada 1645 dan dimakamkan di astana Kasultanan Agung. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Peringatan Hari Pahlawan yang dirayakan tiap tanggal 10 November, seharusnya mengingatkan kembali generasi sekarang untuk perjuangan para pe...
Mengenal 4 Pahlawan dari Kalimantan Selatan
Peringatan Hari Pahlawan yang dirayakan tiap tanggal 10 November, seharusnya mengingatkan kembali generasi sekarang untuk perjuangan para pendahulu. Termasuk, pahlawan di Kalimantan Selatan (Kalsel) atau kerap dikenal dengan julukan “Banua”.
Dikutip dari sejarahlengkap.com, berikut biografi lengkap hingga sejarah empat pejuang pahlawan di Banua yang berhasil melawan penjajah :
1. Pangeran Antasari
Pangeran Antasari lahir di Kayu Tangi, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada 1797 atau 1809 dan wafat di Bayan Begok pada 11 Oktober 1862.
Antasari adalah seorang Sultan Banjar dan pemimpin dalam Perang Banjar yang dilakukan untuk melawan pasukan kolonial Belanda.
Nama kecilnya adalah Gusti Inu Kertapati, dari ibuu Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan ayahnya Pangeran Masohut bin Pangeran Amir. Ayahnya adalah cucu dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang tidak dapat naik tahta pada 1785 karena diusir oleh Pangeran Nata, Walinya yang kemudian mengangkat dirinya menjadi Sultan Tahmidullah II dengan bantuan Belanda.
Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin suku Banjar tetapi juga dianggap sebagai pemimpin oleh suku Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Ngaju, Maanyan, Siang, Bakumpai dan suku-suku lain yang mendiami kawasan pedalaman dan sepanjang sungai Barito.
Pangeran melanjutkan perlawanan terhadap Belanda setelah Sultan Hidayatullah ditipu dengan menyandera ibundanya dan diasingkan ke Cianjur.
Perang Banjar pecah pada 25 April 1859 ketika Pangeran dan 300 orang prajurit menyerang tambang batu bara Belanda di Pengaron dan berlanjut di seluruh wilayah kerajaan Banjar seperti Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang Sungai Barito hingga ke Puruk Cahu.
Dirinya meninggal karena terkena penyakit paru-paru dan cacar pada usia 75 tahun sehingga perlawanan dilanjutkan oleh Muhammad Seman, putranya. Antasari diangkat sebagai pahlawan nasional pada 27 Maret 1968.
2. Brigjen Hasan Basri
Lahir di Kandangan, Hulu Sungai Selatan pada 17 Juni 1923 dan wafat di Jakarta pada 15 Juli 1984. Ia merupakan salah seorang tokoh militer yang berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia terutama di Kalimantan Selatan.
Ia adalah pendiri Batalyon ALRI Divisi IV di Kalsel, dan disebut sebagai Bapak Gerilya Kalimantan oleh Ketetapan DPRGR Tingkat II Hulu Sungai Utara pada 20 Mei 1962. Pendidikan awalnya adalah HIS, Tsanawiyah al-Wathaniah di Kandangan, Kweekschool Islam Pondok Modern Ponorogo, Jatim.
Setelah kemerdekaan, ia aktif dalam organisasi pemuda Kalimantan yang pusatnya di Surabaya. Karier sebagai seorang tentara dan pejuang dimulai dari situ, ketika ia menyusup pulang ke Kalsel dan menjadi pemimpin Laskar Syaifullah.
Ketika banyak anggota dari Laskar ditangkap Belanda, Hasan Basri membentuk Banteng Indonesia hingga mendirikan Batalyon ALRI.
Walaupun hasil perjanjian Linggarjati dan Renville membuat Kalimantan berada di bawah kekuasaan Belanda, Hasan Basri tetap melanjutkan perjuangannya.
Puncaknya, ia berhasil memproklamasikan kedudukan Kalimantan sebagai bagian dari RI pada 17 Mei 1949. ALRI kemudian dilebur ke dalam TNI AD Divisi Lambung Mangkurat dan dirinya diangkat sebagai Letnan Kolonel.
Pada 3 November 2001, ia diberikan gelar pahlawan nasional dari Banjarmasin oleh pemerintah. Ketahui juga mengenai nama pahlawan nasional dari Sumatera Utara dan nama pahlawan nasional dari Sumatera Barat.
3. Idham Chalid
Salah satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada zamannya, Idham Chalid lahir di Satui, Kalsel pada 27 Agustus 1921 dan meninggal pada 11 Juli 2010 di Jakarta.
Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia di Kabinet Ali Sastroamidjojo dan di Kabinet Djuanda, Ketua MPR dan DPR pada 1972-1977, juga aktif dalam kegiatan keagamaan dan pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah Nadhlatul Ulama sejak 1956-1984.
Dirinya sudah aktif di PBNU sejak remaja dan pernah menjadi Ketua Umum Partai Bulan Bintang Kalsel ketika NU masih menjadi bagian dari Masyumi. Bahkan, pernah menjadi anggota DPR RIS (1949-1950), Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (1952-1956) sebelum menjadi Ketua Umum NU pada 1956 dan merupakan orang terlama yang pernah menjabat sebagai ketua NU.
Gelar pahlawan nasional dari Banjarmasin dianugerahkan oleh pemerintah pada 7 November 2011 sebagai putra Banjar ketiga yang diangkat sebagai pahlawan nasional.
Pada masa setelah Orde Lama, dirinya juga menjabat sebagai Menteri Utama Bidang Kesejahteraan Rakyat pada Kabinet Ampera I, Menteri Negara Kesejahteraan pada Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I.
4. Ir. Pangeran H. Mohammad Noor
Lahir pada 24 Juni 1901 di Martapura dari keluarga bangsawan Banjar, ia adalah cicit dari Ratu Anom Mangkubumi Kentjana bin Sultan Adam al-Watsik Billah.
Saat itu, Kesultanan Banjar sudah dihapuskan secara sepihak oleh Belanda dan menjelang akhir Perang Banjar. Sehingga keluarga Kesultanan yang tidak lagi memiliki hak istimewa yang terpencar di mana-mana dan jatuh miskin.
Ia dapat bersekolah di HIS, MULO, HBS lalu Techniche HoogeSchool (ITB) hingga mendapatkan gelar Insinyur pada 1927, setahun setelah Soekarno.
Dirinya tidak bekerja untuk Belanda, melainkan memilih berjuang untuk rakyat dengan menggantikan ayahnya dalam Volksraad sebagai wakil Kalimantan pada 1935-1939.
Lalu, ia aktif sebagai anggota PPKI dan ikut melawan tentara sekutu pada pertempuran Surabaya Oktober-November 1945.
Pada masa revolusi tahun 1945-1949, dirinya mendirikan pasukan MN 1001 untuk beroperasi di Kalsel dengan pimpinan Hassan Basri dan juga di Kalteng dengan dipimpin Tjilik Riwut.
Kemudian, diangkat menjadi Gubernur Kalimantan pertama berkedudukan di Yogyakarta saat Agresi Militer Belanda I dan II, kemudian membantu Idham Chalid serta rekan-rekannya untuk bertemu dengan Mohammad Hatta yang meminta agar Kalimantan terus berjuang secara militer dan politik walaupun belum dapat dibantu oleh Pusat.
Selanjutnya, ia diangkat menjadi Menteri PU dan berhasil menyelesaikan proyek Sungai Barito, pembukaan pesawahan pasang surut atau P4S, membangun PLTA Riam Kanan dan sebagian kanal di Banjarmasin-Sampit, juga mengeruk ambang Barito yang dapat meningkatkan kemakmuran di lembah sungai Barito. Beliau diakui sebagai pahlawan nasional dari Banjarmasin pada tahun 2018.
Jawa Timur melahirkan tokoh-tokoh dan pahlawan nasional Indonesia. Salah satunya adalah Bung Tomo, pemuda berani asal Surabaya yang membakar...
4 Pahlawan Nasional dari Jawa Timur
Jawa Timur melahirkan tokoh-tokoh dan pahlawan nasional Indonesia. Salah satunya adalah Bung Tomo, pemuda berani asal Surabaya yang membakar semangat masyarakat untuk mempertahankan Indonesia.
Selain itu, adapula beberapa pahlawan lain seperti H.O.S Tjokroaminoto, dr. Soetomo dan Halim Perdanakusuma. Berikut kisahnya.
1. H.O.S Tjokroaminoto
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau H.O.S Tjokroaminoto merupakan pahlawan nasional yang lahir di desa Bukur, Madiun, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882. Ia lahir dari keluarga ulama dan ningrat. Menurut jurnal Pendidikan Studi Islam ‘Islam, Sosialisme dan Politik Perspektif Pemikiran H.O.S Tjokroaminoto’, ia adalah guru dari beberapa tokoh besar pergerakan nasional, termasuk presiden Soekarno, Muso, Abikoesno dan Alimin.
Peran Tjokroaminoto sangat terasa dalam perkembangan Syarikat Islam (SI), yang kemudian bertransformasi menjadi PSII atau Partai Syarikat Islam Indonesia. Ia merupakan pemimpin partai tersebut hingga meninggal dunia.
Masih menurut jurnal yang sama, bukti pengaruh kuat Tjokroaminoto dalam partainya adalah dengan perlakuan para kadernya yang sangat menghormati Tjokroaminoto. Ia juga menjadi idola kader partai dan masyarakat luas. Ia wafat di Yogyakarta, 17 Desember 1934 dalam usia 52 tahun. Sementara itu, gelar kepahlawanan diberikan presiden Soekarno di tahun 1961.
2. Soetomo
Pahlawan nasional selanjutnya yang berasal dari Jawa Timur adalah dr. Soetomo. Ia lahir pada 30 Juli 1988 di Loceret, Nganjuk.Soetomo berprofesi sebagai seorang dokter dan menempuh pendidikannya di STOVIA (sekolah kedokteran pada masa kolonial).
Dirinya kemudian mendirikan organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Organisasi tersebut adalah perkumpulan modern pertama di tanah Hindia Belanda, yang bertujuan menjadikan pendidikan serta kebudayaan sebagai jalan membebaskan diri dari belenggu penjajahan.
Soetomomelanglang buana ke beberapa kota, usai lulus dari STOVIA di tahun 1911. Kepergiannya itu merupakan tugas yang ia dapat. Adapun kota yang ia singgahi adalah Semarang, Tuban, Lubuk Pakam dan Malang. Di kota Malang inilah, dirinya membasmi wabah pes yang melanda.
Semakin sering Soetomo bepergian ke banyak kota, semakin lebar pemikirannya terbuka. Ia banyak melihat kesengsaraan masyarakat di masa penjajahan itu.
Sebuah tulisan karya Yuda B. Tangkilisan dengan tajuk ‘Indonesia Mulia: Visi Dokter Soetomo tentang Kesejahteraan Rakyat, Moral Ekonomi dan Moral Sosial’ menyebut, kepeduliaan Soetomo tak hanya terbatas pada kesehatan masyarakat.
Namun juga pada masalah ekonomi rakyat. Ia menaruh atensi besar terhadap dunia sosial dan politik. Soetomo wafat di Surabaya, 30 Mei 1938. Pemerintah memberikannya gelar pahlawan nasional di tahun 1961. Namanya kini diabadikan sebagai nama sebuah rumah sakit di Surabaya.
Baca : Niat dan Tata cara mandi wajib setelah nifas
3. Abdul Halim Perdanakusuma
Bapak Penerbang AURI, sekaligus pahlawan nasional Indonesia, Abdul Halim Perdanakusuma merupakan pahlawan kelahiran Sampang, Madura, 18 November 1922.
Ayah Abdul Halim, Haji Abdulgani Wongsotaruno merupakan seorang penulis yang memiliki karya berjudul ‘Batara Rama Sasrabahu’. Menurut laman resmi TNI AU, tulisan tersebut ditulis dalam bahasa Madura.
Halim menempuh pendidikannya di MOSVIA, Magelang. Sekolah tersebut merupakan sekolah Pamong Praja Hindia Belanda. Kegiatan militer pertamanya ia dapatkan pada 1940. Kala itu, pemerintah Belanda mewajibkan rakyat untuk mengikuti wajib militer.
Hal itu menyusul Jerman yang telah menduduki Belanda. Pada masa perang dunia kedua, Halim bertugas di Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force. Pangkat yang ia miliki saat itu adalah Wing Comander. Karena pernah bertugas di negara asing, kepulangan Abdul Halim ke tanah air pada Oktober 1945 dianggap sebagai salah satu tentara NICA.
Hal itu membuatnya dijebloskan ke penjara di Kediri. Setelah bebas, Halim langsung diminta bergabung demi berjuang mempertahankan kemerdekaan dan ikut merintis AURI.
Dirinya tewas dalam kecelakaan pesawat pada 1947. Saat itu, pesawat Avro Anson RI-003 yang ia tumpangi jatuh di wilayah Malaysia, akibat cuaca buruk. Pesawat tersebut tengah melakukan penerbangan dari Bangkok ke Singapura. Abdul Halim Perdanakusuma dianugerahi gelar pahlawan nasional pada 1975.
Baca juga : Peribahasa: Pengertian, jenis, ciri, dan contoh
4. Bung Tomo
Satu lagi pahlawan nasional yang berasal dari Jawa Timur adalah Bung Tomo. Bernama asli Sutomo, ia lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920.Bung Tomo sudah mulai memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia sejak remaja. Mengutip Okezone, sebagai pemuda, Tomo memiliki kematangan berpikir dan kecerdasan yang baik.
Karena itulah ia mendapat banyak kepercayaan dari berbagai kalangan. Bahkan, ia juga disegani banyak pihak.
Meskipun masih muda, Tomo sudah didapuk menjadi sektetaris Partai Indonesia Raya (Panindra). Hal itu membuatnya sedikit lebih mencolok. Sebab, pengurus partai lain adalah orang-orang dewasa. Satu hal yang membuatnya semakin terkenal adalah pidato membaranya pada 10 November 1945.
Ketika itu, pasukan Inggris menyerbu tanah air usai kemerdekaan. Kesimpulan dari isi pidatonya adalah mendorong masyarakat Indonesia, khususnya pemuda-pemuda di Surabaya agar tidak takut dan tetap teguh mempertahankan Indonesia.
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah, yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih. Maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga,” kata Bung Tomo.
Demikianlah 4 pahlawan nasional yang berasal dari Jawa Timur. Semoga bermanfaat.
Laksamana Maeda adalah tokoh Jepang yang mengizinkan rumahnya digunakan sebagai tempat perumusan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ruma...
Laksamana Maeda : Tokoh Jepang yang Rumahnya Jadi Tempat Perumusan Proklamasi
Laksamana Maeda adalah tokoh Jepang yang mengizinkan rumahnya digunakan sebagai tempat perumusan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Rumah Laksamana Maeda yang terletak di Jalan Meiji Dori (sekarang Jalan Imam Bonjol Nomor 1), Jakarta Pusat, menjadi saksi kala Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebarjo merumuskan teks proklamasi pada dini hari tanggal 17 Agustus 1945. Siapakah sosok Laksamana Maeda dan mengapa rumahnya dijadikan tempat perumusan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia?
Biografi Laksamana Maeda
Laksamana Maeda adalah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda pada masa Perang Pasifik. Perwira tinggi bernama lengkap Laksamana Muda Tadashi Maeda itu lahir di Kagoshima, Jepang, pada 3 Maret 1898. Laksamana Maeda berasal dari keluarga keturunan kelas samurai dan ayahnya adalah seorang kepala sekolah di Kajiki. Sang ibu mengajarkan adiknya tata cara mandi wajib setelah haid Pada usia 18 tahun, Laksamana Maeda masuk ke Akademi Angkatan Laut Jepang dan mengambil spesialisasi navigasi. Laksamana Maeda pun telah mendapatkan pangkat letnan satu di Angkatan Laut Kekaisaran Jepang pada 1930. Ia mulai menjadi atase angkatan laut untuk Belanda pada 1940. Setelah itu, pada Oktober 1940, Maeda ditugaskan ke Indonesia untuk menegosiasikan perjanjian dagang dengan pemerintah kolonial, khususnya terkait pembelian minyak untuk Jepang. Selain itu, ia juga ditugaskan membangun jaringan mata-mata di Indonesia. Belum genap satu tahun berada di Indonesia, Maeda kembali ke Jepang pada pertengahan 1941, untuk bekerja sebagai seksi urusan Eropa. Laksamana Maeda kembali ke Indonesia setelah Jepang menyerbu Hindia Belanda pada 1942. Saat itu, Maeda ditugaskan mengatur operasi-operasi Angkatan Laut Jepang di wilayah Papua. Maeda kemudian ditugaskan ke Batavia (Jakarta) setelah pemerintah kolonial Belanda sepenuhnya jatuh. Di Jakarta, Maeda menjadi penghubung Angkatan Laut dan Angkatan Darat ke-16 Jepang.
Peran Laksamana Maeda dalam Kemerdekaan Indonesia
Laksamana Maeda memiliki peran cukup penting dalam menyajikan minuman khas imlek persiapan kemerdekaan Indonesia. Pada Oktober 1944 atau setelah Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia, Laksamana Maeda pun membentuk Asrama Indonesia Merdeka. Asrama itu dibangun Maeda sebagai sarana menciptakan pemimpin-pemimpin negara Indonesia merdeka. Simpati Laksamana Maeda terhadap keinginan Bangsa Indonesia untuk merdeka juga ditunjukkan dengan kesediaanya menyiapkan rumah sebagai tempat peremusan teks proklamasi. Rumah Laksamana Maeda dipilih sebagai tempat perumusan teks proklamasi karena perwira Jepang itu bersedia melindungi Soekarno dan Hatta. Sebagai Kepala Perwakilan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, Laksamana Maeda memiliki imunitas terhadap angkatan perang Jepang. Oleh sebab itu, Soekarno dan Hatta lebih aman berada di rumah Laksamana Maeda karena tidak akan diserang oleh angkatan perang Jepang. Berkat perlindungan Laksamana Maeda di rumahnya, perumusan teks proklamasi Indonesia pun dapat berjalan lancar. Meski begitu, perannya dalam persiapan kemerdekaan Indonesia membuat Laksamana Maeda harus menerima konsekuensi cukup serius. Setelah Indonesia merdeka, Laksamana Maeda ditangkap sekutu dan harus mendekam di penjara hingga 1947 karena dinilai sebagai penghianat. Seusai dibebaskan dari penjara, Laksamana Maeda kembali ke Jepang dan harus menghadapi pengadilan militer.
Namun, Laksamana Maeda akhirnya belajar salat dinyatakan tidak bersalah. Ia kemudian memilih mundur dari jabatannya di milter. Laksamana Maeda meninggal dunia di Jepang pada usia 79 tahun, tepatnya pada 13 Desember 1977.
Sayuti Melik merupakan seorang pahlawan nasional yang dikenal sebagai tokoh yang mengetik teks proklamasi. Sayuti Melik lahir di Sleman, Y...
Sayuti Melik : Tokoh yang Mengetik Naskah Proklamasi Kemerdekaan RI
Sayuti Melik merupakan seorang pahlawan nasional yang dikenal sebagai tokoh yang mengetik teks proklamasi. Sayuti Melik lahir di Sleman, Yogyakarta, pada 25 November 1908. Setelah kemerdekaan Indonesia, ia sempat dipenjara oleh Amir Syarifudin karena dicurigai dekat dengan Persatuan Perjuangan. Di era Orde Baru, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota MPR dan DPR sebagai wakil dari Golongan Karya.
Biografi singkat Sayuti Melik
Sayuti Melik memiliki nama lengkap Mohammad Ibnu Sayuti. Ia lahir di Kadisobo, Rejodani, Sleman, Yogyakarta, pada 25 November 1908. Sayuti Melik merupakan anak dari Abdul Muin alias Partiprawiro dan Sumilah. Sayuti Melik memulai pendidikannya di Sekolah Ongko Loro yang setara dengan Sekolah Dasar (SD) di Desa Srowolan.
Ia kemudian melanjutkan pendidikanya di Sekolah
Guru di Solo. Sejak saat itu, ia mulai mempelajari nasionialisme. Akan tetapi,
ia tertangkap Belanda karena dicurigai tergabung dalam kegiatan politik bawah
tanah.
Sejak saat itu, Sayuti Melik lebih memilih belajar
mandiri. Setelah kemerdekaan Indonesia, Sayuti Melik melanjutkan pendidikanya
di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia. Nasionalisme dalam diri Sayuti
Melik didapat dari didikan bapaknya, yang saat itu menentang kebijakan Belanda
terkait penanaman tembakau di sawah milik mereka.
Peran Sayuti Melik dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia
Sayuti Melik turut menjadi saksi penyusunan teks proklamasi kemerdekaan yang dilakukan di ruang makan rumah Laksamana Maeda. Dalam hal ini, ia mewakili golongan pemuda bersama Sukarni. Ketika proses penyusunan naskah proklamasi, Sayuti Melik membantu Ir Soekarno. Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa Sayuti Melik turut mengusulkan agar naskah proklamasi ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Setelah mengusulkan terkait penandatanganan tersebut, Sukarni segera mengumumkan bahwa teks proklamasi hanya perlu ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Kemudian, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah proklamasi yang telah disusun sebelumnya. Bersama BM Diah, Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi di ruang bawah tanah rumah Laksamana Maeda sambil menikmati minuman khas Imlek dan makanan khas Imlek, seperti kue keranjang.
Saat pengetikan tersebut, ia melakukan perubahan tiga kata, yakni kata 'tempoh' diganti menjadi 'tempo'. Sementara itu, kata 'wakil-wakil Bangsa Indonesia' diubah menjadi 'Atas Nama Bangsa Indonesia'. Selain itu, ada juga pengubahan tulisan bulan dan hari dalam teks proklamasi hasil ketikan Sayuti Melik. Setelah Kemerdekaan Indonesia Pada 1946, Sayuti Melik ditangkap oleh pemerintah Indonesia atas perintah Amir Syarifudin. Penangkapan ini terjadi karena Sayuti Melik dianggap sebagai pihak yang berhubungan dengan Persatuan Perjuangan. Persatuan Perjuangan adalah organisasi yang dibentuk di Purwokerto pada 1946 oleh Tan Malaka. Adapun Persatuan Perjuangan dibentuk untuk menciptakan persatuan di antara organisasi-organisasi yang ada untuk mencapai kemerdekaan penuh untuk Indonesia. Selain itu, ia juga dianggap bersekongkol dan ikut terlibat dalam Peristiwa 3 Juli 1946. Namun, akhirnya ia dinyatakan tidak bersalah oleh Mahkamah Tentara. Sayuti Melik juga pernah menikmati olahan kreasi kue keranjang sambil menonton film Bismillah Kunikahi Suamimu ditangkap oleh Belanda ketika Agresi Militer II. Ia kemudian dipenjara di Ambarawa.
Setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) selesai
dilakukan, ia dibebaskan pada 1949.
Meninggal dunia
Pada 1950, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR serta menjadi Wakil Cendikiawan. Pada 1961, ia menerima Bintang Maha Putera Tingkat V. Lalu, oada 1973, Sayuti Melik menerima tanda Bintang Mahaputra Adipradana II dari Presiden Soeharto. Pada 1971 hingga 1977, Sayuti Melik diangkat menjadi anggota MPR dan DPR sebagai perwakilan Golongan Karya. Selain di bidang politik, Sayuti Melik juga sempat menjadi seorang jurnalis. Ia pernah berkarier sebagai wartawan di Eropa Barat, Eropa Timur, Amerika Serikat, dan Australia. Sayuti Melik meninggal dunia pada 2 Maret 1989 di Jakarta.
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances