Pahlawan nasional Indonesia asal Nusa Tenggara Timur pertama ini dikenal aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Selam...

Pahlawan nasional Indonesia asal Nusa Tenggara Timur pertama ini dikenal aktif dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan RI. Selama penjajahan Jepang, ia turut memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia melalui surat kabar asuhannya ‘Timor Syuho’. Dukungan terhadap kedaulatan RI pasca proklamasi ditunjukkan saat ia terlibat sebagai anggota parlemen dan menteri di Negara Indonesia Timur (NIT).

Izaak Huru Doko lahir di Seba, Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur pada 20 November 1913. Hidup di kota terpencil yang belum tersentuh sarana pendidikan yang layak membuat dia harus meninggalkan kampung halaman ke pulau Timor untuk menuntut ilmu. Ia kemudian mendapat beasiswa masuk MULO di Ambon. Cak, begitu ia biasa dipanggil, juga dengan bekal beasiswa memilih menuntut ilmu di kota Bandung, Jawa Barat di HIK (Hollandsche Inlandsche Kweekschool) atau Sekolah Guru. Selain belajar, dia juga aktif berorganisasi. Bersama Herman Johannes, seorang mahasiswa Technische Hogeschool (sekarang ITB), ia memimpin perkumpulan Pemuda Timor (Timorsche Jongeren) yang memiliki cabang-cabang yang tersebar di kota-kota besar di seluruh Indonesia.

Bahkan jabatan Ketua Partai Politik Perserikatan Kebangsaan Timor di Kupang juga pernah dipercayakan padanya. Partai yang berasaskan nasionalisme/kebangsaan itu mempunyai tujuan mencapai Indonesia merdeka. Saat Jepang menduduki Tanah Air, ia diangkat menjadi Kepala Bunkyo Kakari (Pengajaran/Penerangan) di Kupang terhitung sejak 1 Maret 1942 hingga 1945. Meskipun bekerja pada penjajah, ia tetap memelihara cita-cita kemerdekaan Indonesia melalui surat kabar asuhannya, Timor Syuho.

Ketika rezim pemerintahan Jepang di Indonesia tumbang dan kemerdekaan berhasil diproklamasikan, pemerintahan NICA beserta kaki tangannya terus melancarkan tekanan politik. Untuk mengatasi hal itu, ia bersama Tom Pello memimpin para pejuang. Sikap pantang menyerahnya dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bagi Indonesia diwujudkan di tahun 1946 saat ia menjadi penasihat (adviseur) utusan Timor ke Konferensi Malino. Dalam konferensi itu pula, Partai Demokrasi Indonesia Timor (PDI Timor) memberinya mandat untuk memperjuangkan zelfbeschikkingsrecht (hak menentukan nasibnya sendiri) bagi bangsa Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan RI serta menghapuskan Korte Verklaring (Plakat Pendek, otonomi) dari daerah-daerah Swapraja. Karena kegigihan dan keteguhan dalam memperjuangkan aspirasi untuk merdeka dalam negara kesatuan RI, van Mook (Gubernur Jenderal) menamakannya: “ayam jantan dari Timor” (buku: Malino bouwt een Huis).

Ia juga mengisi posisi dalam jajaran pemerintahan sejak Indonesia masih berbentuk federal. Pada November 1947, ia terpilih sebagai salah satu anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT). Kiprahnya dalam dunia politik saat itu semakin terlihat saat parlemen mengangkatnya sebagai Menteri Muda Penerangan dari 15 Desember 1947 hingga 14 Maret 1950.

Dengan didukung sejumlah fraksi progresif di parlemen, NIT terus melakukan perjuangan dalam BFO (Bijeenkomst Voor Federaal Overleg) untuk meraih kemerdekaan bersama RI. Tak hanya itu, NIT juga membantu perjuangan RI dan mengembalikan Presiden beserta wakilnya dan pemerintah RI ke Yogyakarta. Pemerintah RI pun mengakui secara resmi perjuangan NIT.

Izaak seringkali bertindak sebagai Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet NIT ke-4 dalam lingkungan RIS. Di tengah kesibukannya sebagai pejabat di negara bagian, ia tak melupakan perjuangan saudara sebangsanya di daerah lain. Ia bahkan masih meluangkan waktunya sebagai pengurus Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makassar pimpinan seorang Pahlawan Nasional, Arnold Mononutu.

Tercatat sejumlah jabatan penting pernah diembannya setelah kedaulatan Indonesia diakui. Jabatan itu antara lain, Referendaris pada Kantor Inspeksi Pengajaran Provinsi Sunda Kecil di Singaraja sejak 10 Mei 1950 sampai dengan 25 Oktober 1950, Inspektur SR (Sekolah Rakyat) Provinsi Sunda Kecil, Kepala Inspeksi SR Provinsi Sunda Kecil, Kepala Dinas PP dan K Provinsi Sunda Kecil, dan yang terakhir Koordinator Inspeksi Pengajaran Provinsi Sunda Kecil (25 Oktober 1958-1 September 1958).

Pada tahun 1956, di sela-sela kegiatannya, pemerintah RI mengirim Izaak ke Australia dalam rangka Colombo Plan untuk mempelajari sistem One Teacher School dan Area School selama 8 bulan. Keputusannya untuk mengabdikan diri pada dunia pendidikan membuat Izaak mengundurkan diri ketika namanya diusulkan Partindo untuk menjadi calon anggota Konstituante. Dengan alasan yang sama pula, ia menolak desakan beberapa partai politik seperti Parkindo, PNI, dan lain-lan yang mencalonkannya sebagai gubernur pertama NTT.

Meski demikian, ia masih menjalankan perannya sebagai anggota Perutusan Sunda Kecil pada Musyawarah Nasional tahun 1957 dengan agenda mempersatukan kembali Dwitunggal Proklamator RI, Soekarno-Hatta. Terhitung sejak 1 September 1959 hingga 1 Februari 1971, ia dipindahkan ke Kupang untuk menjabat sebagai Kepala Perwakilan Departemen P & K Provinsi NTT, dengan pangkat terakhir Pegawai Utama, golongan IV/D. Izaak menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 67 tahun, tepatnya 29 Juli 1985 di Kupang.

Menurut hasil kajian Dinas Sosial NTT, Izaak Huru Doko terlibat dalam enam kegiatan/aktivitas yang mengarah kepada perjuangan kemerdekaan RI sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Setelah proklamasi, ia menggeluti 23 jenis kegiatan yang berbasis mempertahankan kemerdekaan RI sehingga jasa-jasanya dianggap luar biasa bagi bangsa dan negara.

Itulah sebabnya, Izaak Huru Doko dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana berdasarkan SK Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006, tanggal 3 November 2006. Sedangkan untuk jasanya dalam bidang pendidikan, Pemerintah Indonesia melalui Departemen Sosial menganugerahkannya Bintang Sosial dengan gelar Pahlawan Pendidikan. 

Madura, pulau yang terletak di sebelah timur laut dari Jawa Timur. Suku Madura termasuk etnis yang berpopulasi besar di Indonesia berjumlah ...

Madura, pulau yang terletak di sebelah timur laut dari Jawa Timur. Suku Madura termasuk etnis yang berpopulasi besar di Indonesia berjumlah sekitar 7 juta jiwa lebih yang berasal dari Pulau Madura dan pulau – pulau di sekitarnya. Madura pernah menjadi salah satu negara boneka yang dibentuk Belanda pada zaman Republik Indonesia Serikat. Ini berarti, Madura pun tidak luput dari kisah sejarah perjuangan kemerdekaan, namun hingga saat ini pahlawan nasional dari Madura yang diakui baru tercatat sejumlah dua orang. Nama – nama pahlawan nasional dari Madura tersebut antara lain:

1. Pangeran Trunojoyo

Pahlawan nasional dari Madura ini lahir di Sampang, pada tahun 1649 dengan nama kecil Raden Nila Prawata. Beliau adalah cucu dari Pangeran Cakraningrat I, Raja Madura, keturunan dari Kraton Arosbaya Madura yang ditaklukkan oleh Kerajaan Mataram. Ayahnya adalah putra ke 3 Cakraningrat bernama R. Demang Melayakusuma yang memimpin pemerintahan sehari – hari di Madura Barat. Semasa kecil Pangeran Trunojoyo dididik dan dibesarkan di lingkungan Kraton Mataram yang dipimpin oleh putra Sultan Agung yaitu Amangkurat I. Pada tahun 1656 terjadi perselisihan di Mataram yang dipicu oleh pemberontakan Pangeran Alit hingga jatuh korban jiwa. Mereka adalah Pangeran Cakraningrat I dan R. Demang Melayakusuma, ayah Trunojoyo, yang diutus untuk meredakan pemberontakan.

Korban lain adalah Raden Ario Atmojonegoro (putra pertama Cakraningrat I), dan Pangeran Ario/Pangeran Alit (adik Amangkurat I). Pemberontakan terjadi karena pemerintahan Amangkurat yang keras dan bersekutu dengan VOC. Madura kemudian dipimpin oleh Raden Undagan, paman Trunojoyo yang bergelar Panembahan Cakraningrat II. Akan tetapi ia juga lebih banyak berada di Mataram daripada di Madura seperti ayahnya. Putra Mahkota Amangkurat I bernama Adipati Anom ternyata juga menyimpan ketidak puasan kepada ayahnya, namun tidak berani memberontak secara terang – terangan.

Ia meminta bantuan Raden Kajoran/Panembahan Rama, seorang kerabat Mataram dan seorang ulama, yang merupakan mertua Trunojoyo. Pada tahun 1974 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura dan menyatakan diri sebagai Raja merdeka di Madura Barat, sejajar dengan penguasa Mataram. Rakyat mendukung karena Cakraningrat dianggap mengabaikan pemerintahan. Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan Giri, Surabaya, dan Karaeng Galesong, pemimpin pelarian warga Makassar pendukung Sultan Hasanuddin. Mereka berhasil mendesak pasukan Amangkurat I, tetapi kemudian timbul perselisihan dengan Adipati Anom karena Trunojoyo tidak mau menyerahkan kepemimpinannya dan berhasil mengalahkan pasukan Adipati pada 1676.

Kemudian ia menyerbu Plered, ibukota Mataram dan berhasil mendesak Amangkurat I hingga ke Wonoyoso dan meninggal di Tegal. Trunojoyo lalu mendirikan pemerintahan sendiri dengan gelar Panembahan Maduretno. Adipati Anom yang diangkat menjadi Amangkurat II bersama VOC sepakat melawan Trunojoyo melalui Perjanjian Jepara (September 1677). VOC yang memusatkan kekuatannya bersama Mataram akhirnya berhasil menyudutkan Trunojoyo dan menguasai bentengnya. Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo pada 2 Januari 1680. Sejak itu VOC berhasil menancapkan cakarnya pada Mataram dan Madura. 

2. Abdul Halim Perdana Kusuma

Pada zaman penjajahan tidak banyak putra Indonesia yang ahli menerbangkan pesawat. Saat itu Indonesia juga belum memiliki pesawat terbang. Tetapi sudah ada seorang putra Madura yang tercatat sebagai anggota Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force. Ia adalah Abdul Halim Perdana Kusuma, yang lahir di Sampang pada 18 November 1922 yang ahli dalam navigasi dan mengemudikan pesawat terbang. Putra dari Patih Sumenep itu berpangkat Wing Commander dan terlibat dalam 44 tugas penerbangan menggunakan pesawat jenis Lancaster atau Liberator sebagai navigator tempur pada Perang Dunia II di Eropa dan Asia. Jenjang pendidikannya dimulai dari HIS di tahun 1928, lalu MULO pada 1935, dan Sekolah Pamong Praja di Magelang.

Sesudah selesai ia menjadi calon Mantri di kantor Kabupaten Probolinggo, lalu diperintah oleh Bupati untuk mengikuti pendidikan Perwira AL Belanda di Surabaya. Dari sini ia mengikuti pendidikan di Royal Canadian Air Force jurusan Navigasi. Ia dijuluki The Black Mascot karena di setiap peperangan yang ia ikuti, semua kru berhasil kembali dengan selamat. Selesai bertugas di Eropa, ia kembali ke Indonesia untuk membantu membangun kekuatan Angkatan Udara Indonesia sebagai pelatih penerbangan dan instruktur navigasi walaupun dengan keterbatasan fasilitas dan sarana. Selain itu, ia juga sering diberi berbagai tugas penting seperti terlibat dalam pendirian pangkalan udara AURI sebagai Perwira Operasi berpangkat Komodor Udara.

Ia mempersiapkan penyerangan terhadap kota – kota yang diduduki Belanda seperti Ambarawa, Salatiga, Semarang dan kota lainnya. bersama rekannya yang lain seperti Agustinus Adisucipto, Abdulrachman Saleh dan Iswahyudi kemudian memperbaiki pesawat – pesawat tua bekas Jepang hingga dapat digunakan kembali. Sayangnya ia tewas ketika pesawatnya jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak, Malaysia. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta menjadi Laksamana Muda Udara (Marsekal Muda Udara), serta diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 1975.

  Pematang Siantar adalah kota terbesar kedua setelah kota Medan di Sumatera Utara. Dari kota ini banyak tokoh – tokoh lahir dan merupakan t...

 

Pematang Siantar adalah kota terbesar kedua setelah kota Medan di Sumatera Utara. Dari kota ini banyak tokoh – tokoh lahir dan merupakan tokoh nasional. Ada beberapa tokoh yang sangat familiar dikalangan masyarakat Indonesia.

Berikut adalah 3 tokoh nasional dari Kota Pematang Siantar:

1.       Letjen Purn Tahi Bonar (TB) Simatupang

TB Simatupang adalah pria kelahiran Sidikalang, 28 Januari 1920, dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. TB Simatupang pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) era Presiden Soekarno.

TB Simatupang menyatakan diri sebagai anak Siantar sebab dirinya banyak menghabiskan waktu kala bersekolah di HIS di Kota Pematang Siantar pada tahun 1927 hingga 1934.

Usai menyelesaikan sekolah di HIS, TB Simatupang lulus menjadi perwira muda dan ditempatkan di Jakarta.

Pasca mempertahankan kemerdekaan Indonesia, TB Simatupang bergabung bersama Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan bergriliya bersama Jenderal Sudirman.

Usai sukses dalam karier militernya, TB Simatupang terjun ke pelayanan Gereja dan aktif menyumbangkan pemikiran – pemikirannya tentang peranan Gereja di dalam masyarakat.

Dirinya pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja – gereja di Indonesia (PGI), Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja – gereja Asia, Ketua Dewan Gereja – gereja se-Dunia.

2.       Adam Malik Batubara

Karena perawakannya yang kecil dan sifatnya yang cerdik, Adam Malik mendapat julukan “ si kancil”. Adam Malik dikenal sebagai salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus mantan Presiden Republik Indonesia ke-3.

Selain politikus, Adam Malik adalah seorang jurnalis sekaligus pendiri kantor berita Antara.

Berkat jasa – jasanya, Adam Malik mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 6 November 1998. Adam Malik merupakan anak ketiga dari sepuluh bersaudara yang lahir di Kota Pematang Siantar. Adam Malik lahir dari pasangan Abdul Malik Batubara dan Salamah Lubis, seorang pedagang.

Adam Malik menempuh pendidikan dasarnya di HIS Pematang Siantar dan pada usia 20 tahun ia merantau ke Jakarta.

Adam Malik menjejali dunia sejak masa mudanya, ia juga aktif dan ikut pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada tahun 1934 – 1935, ia memimpin Partai Indonesia (Partindo) Pematang Siantar dan Medan. pada tahun 1940 – 1941 menjadi anggota Dewan Pimpinan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di Jakarta.

Pada awal kemerdekaan Adam Malik menjadi anggota Pimpinan Gerakan Pemuda untuk persiapan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.

Adam Malik juga pernah menjadi perwakilan internasional saat diangkat menjadi duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk negara Uni Soviet dan Polandia.

Pada tahun 1962, ia menjadi Ketua Delegasi Republik Indonesia untuk perundingan Indonesia dengan Belanda mengenai wilayah Irian Barat di Washingthon D.C. , Amerika Serikat. Adam Malik juga pernah menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Pembangunan I, dan tahun 1973 kembali memangku jabatan sebagai Menteri Luar Negeri untuk terakhir kalinya dalam kabinet Pembangunan II.

Pada tahun 1978, ia diangkat oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai Wakil Presiden RI.

3.       Cornel Simanjuntak

Cornel Simanjuntak adalah pencipta lagu nasional, salah satunya lagu Maju Tak Gentar.

Berkat bakat seninya, Cornel Simanjuntak berhasil menyentak persatuan rakyat lewat lagu yang ia ciptakan. Cornel adalah anak asli kota Pematang Siantar yang lahir pada tahun 1921. Bahkan kediaman Cornel Simanjuntak yang berlokasi di Jalan Tambunan, Kelurahan Tong Marimbun, Kecamatan Siantar Marimbun, Kota Pematang Siantar masih dapat dilihat meski kondisinya kini sudah tak lagi terawat.

Cornel Simanjuntak memang memiliki bakat luar biasa dalam hal bermusik. Tak hanya itu, dia juga memiliki sejumlah pengalaman perang. Pada tahun 1945 -1946, ia mengarahkan moncong senjatanya kepada tentara Gurkha Inggris.

Namun sayang, dalam sebuah pertempuran di daerah Senen – Tangsi Penggorengan Jakarta, pahanya tertembak. Kemudian ia dirawat di RSUP.

Dari karya Cornel lahirlah berbagai lagu – lagu nasional seperti, Tanah Tumpah Darah, Maju Tak Gentar, Pada Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia Tetap Merdeka.

Peluru di paha Cornel konon tetap bersarang ketika penyakit kronis TBC menyerangnya. Ia meninggal pada tanggal 15 September 1946 di Sanatorium Pakem, Yogyakarta dalam status perjaka dan ia meninggal pada usia 25 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman Kerkop Yogyakarta. Saat menjelang maut ia masih sempat menulis lagu berjudl Bali Putra Indonesia, namun lagu yang ditulis dengan gamelan itu belum selesai.

Demikianlah 3 tokoh nasional yang berasal dari kota Pematang Siantar. Semoga dapat menambah penegetahuan kita ya.

Papua, rasanya tak cukup kata untuk melukiskannya. Kekayaan dan keindahan alamnya, Bumi Papua nyaris tak pernah lepas dari sengketa. Bagi In...

Papua, rasanya tak cukup kata untuk melukiskannya. Kekayaan dan keindahan alamnya, Bumi Papua nyaris tak pernah lepas dari sengketa. Bagi Indonesia Papua adalah bagian yang tak terpisahkan. Setelah Operasi Pembebasan Irian Barat dilakukan pada 1963, Papua kembali ke pangkuan Indonesia dari kekuasaan Belanda. Pemerintah mencatat keterlibatan orang asli Papua dalam perjuangan fisik dan nonfisik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional untuk mereka. Berikut empat Pahlawan Nasional dari Papua.

Frans Kaisiepo



Frans Kaisiepo adalah pahlawan asli dari Papua yang lahir di Wardo, Biak Papua pada 10 Oktober 1921. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua, dan ia mengusulkan nama Irian dalam kata Bahasa Biak yang artinya tempat yang panas. Tiga hari menjelang Proklamasi tapatnya pada 14 Agustus 1945, Frans dan beberapa teman perjuangannya membunyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya di Kampung Harapan Jayapura. 

Setelah beberapa hari sesudah Proklamasi atau pada tanggal 31 Agustus 1945, Frans dan teman-temannya melaksanakan upacara dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu kebangsaan. Selain itu, Frans juga pernah menjabat sebagai Gebernur Papua pada tahun 1964-1973.

Pada tanggal 10 April 1979 Frans telah meninggal dunia ia di makamkan di Taman Makam Pahlwan Cenderawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya nama Frans Kaisiepo diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak selain itu namanya juga di abadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo. Untuk mengenang dan menghargai jasa-jasanya, tepat pada tanggal 19 Desember 2016, Frans Kaisiepo diabadikan dalam uang kertas Rupiah baru pada pecahan Rp10.000,00

Johannes Abraham Dimara


Mayor TNI Johannes Abraham Dimara merupakan putra asli Papua yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Dia lahir di Korem, Biak Utara pada 16 April 1916. Pada 1946 Johannes Abraham ikut serta dalam Pengibaran Bendera Merah Putih di Namlem Pulau Buru, Maluku, ia ikut memperjuangkan pengembalian wilayah Irian Barat ke tangan Republik Indonesia. Selanjutnya pada 1950, ia diangkat menjadi Ketua OPI (Organisasi Pembebasan Irian Barat).

Johannes menjadi anggota TNI dan melakukan infiltrasi pada tahun 1954. Dia tertangkap tentara Kerajaan Belanda dan dibuang ke Digul. Dia baru dibebaskan pada 1960. Ketika Presiden Soekarno mengumandangkan Trikora (menggabungkan wilayah Papua Bagian Barat), dia menjadi contoh sosok orang muda Papua dan bersama Bung Karno ikut menyerukan seluruh masyarakat di wilayah Irian Barat untuk mendukung penyatuan wilayah Irian Barat ke dalam pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Pada tahun 1962, diadakanlah perjanjian New York. Johannes menjadi salah satu delegasi bersama Menteri Luar Negeri Indonesia. Isi dari perjanjian itu akhirnya mengharuskan pemerintahan Kerajaan Belanda untuk bersedia menyerahkan wilayah Irian Barat ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Mulailah dari saat itu wilayah Irian Barat masuk menjadi salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Johannes Abraham Dimara meninggal di Jakarta pada 20 Oktober 2000. Dia mendapat tanda penghargaan dari pemerintah berupa Satyalancana Perang Kemerdekaan Kesatuan dan Satyalancana Bhakti. Atas jasanya Pemerintahan RI menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional berdasarkann Keppres No. 113/TK/2011.

Silas Papare



Silas Papare lahir di Serui pada 18 Desember 1918, ia adalah seorang pejuang penyatuan Irian Jaya (Papua) kedalam wilayah Indonesia. Ia sangat gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua sehingga dia berurusan dengan apparat keamanan Belanda dalam memerangi kolonialisme Belanda dan pada akhirnya dia dtangkap dan dipenjarakan di Jayapura karena memengaruhi Batalyon Papua untuk memberontak. Pada saat menjalani masa tahanan di Serui, Papua, Silas berkenalan dengan Sam Ratulangi Gebernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya semakin mendekat keyakinan bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan Republik Indonesia. 

Pada Oktober 1949, ia mendirikan Badan Perjuangan Irian di Yogyakarta untuk membantu pemerintah Republik Indonesia memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah NKRI. Silas diminta Soekarno untuk menjadi salah satu seorang delegasi Indonesia dalam New York Agreement yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri konfrontasi Indonesia dengan Belanda dalam sengketa Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia kemudian diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara). 

Mengenang jasa-jasanya Silas Papare, namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas Papare dengan nomor 386. Selain itu didirikan juga Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di Jayapura, nama Silas Papare di abadikan juga sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas Papare yang berada di Jalan Diponegoro, sedangkan di Kota Nabire nama Silas Papare diabadikan sebagai nama jalan.

Marthen Indey



Marthen Indey lahir di Doromena, Papua pada 14 Maret 1912. Dia adalah merupakan putra Papua yang ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan Nasional Indonesia berdasar SK Ppresiden No, 077/TK/1993 tanggal 14 September 1993 bersama dengan dua putra Papua lainnya yaotu Frans Kaisiepo dan Silas Papare.

Marthen merupakan polisi Belanda yang berbalik mendukung Indonesia setelah bertemu dengan beberapa tahanan politik di Digul. Salah satunya adalah Suguro Atmoprasojo. Ketika bertugas untuk menjaga para tahanan politik itulah, secara tidak langsung jiwa nasionalismenya justru tumbuh dan terus bersemai untuk melawan Belanda.
 
Pada tahun 1946, Marthen bergabung dengan sebuah organisasi politik bernama Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang kemudian dikenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat itu ia menjabat sebagai Ketua, Marthen dan beberapa kepala suku di Papua menyampaikan protesnya terhadap pemerintahan Belanda yang berencana memisahkan Irian Barat dari Kesatuan Indonesia. Belanda menangkap Marthen dan membuinya selama tiga tahun di hulu Digul karena merasa dikhianati. 

Berkat jasanya, Marthen diangkat sebagai anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu, ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat Mayor Tituler selama dua puluh tahun.

  Siapakah Dipati Amir? Salah satu sejarah kecil yang belum banyak mengudara dalam perbincangan panggung sejarah nasional adalah kisah perju...

 

Siapakah Dipati Amir?

Salah satu sejarah kecil yang belum banyak mengudara dalam perbincangan panggung sejarah nasional adalah kisah perjuangan Depati Amir, pahlawan asal Pangkalpinang (Bangka) yang gigih membebaskan rakyatnya dari belenggu penjajah pada sekitar 1850-an.

Hamparan cerita rakyat terkait sosok pejuang ini seakan tak pernah lekang diterpa waktu. Pengabadian nama Depati Amir di beberapa fasilitas publik, seperti jalan dan bandara, di Pangkalpinang merupakan wujud kecintaan dan penghormatan yang tinggi atas Depati Amir. Namun begitu, pemaknaan tersebut akan terkesan dangkal apabila generasi muda masa kini hanya sebatas mengenal nama tanpa ada upaya pengkajian secara intensif sejarah hidupnya. 

Depati Amir dikenang oleh penduduk Bangka sebagai pejuang yang gigih mempertahankan taah air dari cengkeraman Belanda. Semasa perang gerilya, ia tidak membatasi pergaulan hanya pada bangsa Melayu yang muslim, namun juga menjalin pergaulan dengan orang Cina. Ini merupakan satu kasus yang menarik dalam historiografi nasional. Peran orang Cina belum terlihat dalam upaya melawan penjajah, namun pengecualian ditemukan dalam kisah perjuangan Depati Amir.

Selama lebih dari 3 atau 4 bulan pada tahun 1850, Belanda belum bisa meringkus Depati Amir. Dalam menjalankan aksinya, Amir kerapkali dibantu oleh para koleganya yang bukan hanya orang Melayu melainkan juga orang Cina. Di antara mereka adalah: King Tjoan (mantan mandor tambang di Blinyu, Budjang Singkep, Akei Asan (si Hasan), Oebien, Bengol, Tata, Dayo, Dasum, Ko So Sioe (mantan centeng Cina di tambang Singlo, Sungailiat), Lanang Amo, Tje Ling Ie, Lo Adjien, Iksam (orang Cina dari Blinyu), Moksin dan Katak ( Orang Cina dari Pangkalpinang).

Ko So Sioe yang memutuskan keluar dari tambang di Sungailiat dan bergabung dengan Amir. Selain ia, masih banyak orang Cina yang memiliki tugas khusus dalam jejaring pasukan Depati Amir. Lanang Amo, Tyo Seng, dan Lok Adjin berserikat pada gerakan Depati Amir dengan memasok senjata siap pakai seperti tombak, klewang, dan lain-lain.

Adapun Mohsin dan Katak, membantu pemeberontakan di tambang Seroe. Raman, Aim, dan King Tjoan (orang-orang Cina yang masuk Islam) sukses mengajak 60 orang pengembara (pengangguran) berkumpul di Batin Maros untuk bergabung dalam kesatuan Amir. Ketiga nama itu dikenang pula sebagai pemasok persenjataan dari Singapura.

Kolaborasi Amir dengan orang Cina kembali ditunjukkan mereka membakar tambang Sungailiat. Kejadian ini terjadi sebelum ditetapkannya Depati Amir sebagai target DPO (Daftar Pencarian Orang). Dalam kesempatan ini Amir dibantu oleh 30 sampai 40 orang Cina.

Dalam suatu serangan di Ampang, barisan Amir mendapat bantuan dari seorang Cina bernama Tjing yang menebarkan racun pada nasi yang akan dihidangkan kepada tentara kolonial.

Baik Amir maupun Tjing, dinpadang Belanda merupakan sepasang pejuang yang berbahaya. Dalam korespondensi lintas pemerintah, nama-nama mereka kerapkali disebutkan sebagai tokoh penting biang keladi kerusuhan di Bangka. Keduanya ibarat representasi dua etnis dominan yang mendiami Pulau Bangka, Melayu dan Cina.

Baik penguasa pribumi maupun pembesar Cina di daerah itu tak segan membantu perjuangan mereka. Adalah Oen Bing Hee, letnan Cina di Merawang, turut membantu kerja barisan Amir. Di kalangan pribumi, Demang Sura Mengala merupakan salah satu sahabat Amir yang turun menggalang dana untuk melanjutkan perjungan Amir.

Berbagai upaya dilakukan Belanda untuk menangkap depati Amir. Dalam surat kapten komandan infanteri ke 1, Doorschodt, kepada mayor komandan militer untuk Bangka yang berkedudukan di Mentok, Rumah Bakem tanggal 24 Juli 1850 no. 96.

Ia mengisahkan bahwa pada tanggal 23 Juli 1850, datang seseorang kepada Doorschodt yang memberikan penjelasan bahwa di malam ini, Amir, Awang, serta gerombolan perusuh (pejuang) akan berkumpul di Pako. Segera sang komandan membuat rencana penyerangan tiba-tiba dengan menyiapkan sepasukan dibantu oleh Letnan Dua Doerleban berkekuatan 50 opsir beserta 25 barisan pasukan yang berangkat pada malam hari pukul 1.

Diceritakan pula, kondisi jalanan di kampung Paya Raya amat bagus hingga sampai di kaki gunung yang dikelilingi hutan, kondisi jalan dipenuhi lumpur yang dalam sehingga menghambat laju pasukan. Baru pada pukul 4. 30 ekspedisi itu sudah dekat dengan kampung yang dimaksud. Setelah diteliti ternyata kampung Pako itu kosong. Kampung itu hanya terdiri dari 12 rumah besar dan gudang. Menginjak pukul 6 pagi, Doorschodt memerintahkan untuk membakar kampung itu, lalu setelah itu kembali melakukan pencarian sepanjang jalan semula.

Berdasarkan laporan kolonial tertanggal 17 Januari 1851, No. A/19, memberitakan tentang Amir dan Tjing yang berada dalam hutan Mendu Barat sejak 29 Desember 1850. Keadaan mereka amatlah payah oleh karena kekuarangan bahan makanan. Semua akses menuju ke hutan ini telah ditutup oleh Belanda. Segera Belanda memeberitakan sayembara bagi mereka yang dapat menangkap Depati Amir akan diberi hadiah.

Akhirnya, ditemukan empat orang yang ditetapkan sebagai spion yang diutus masuk hutan menemui Depati Amir. Sesampainya di tempat persembunyian Amir, mereka membujuknya untuk mengikuti mereka lewat jalan rahasia yang belum diketahui Belanda. Atas niat baik spion itu, Depati Amir sempat memberikan keris, cincin emas, dan 6 gulden Spanyol. Namun, di penghujung jalan Amir dijebak dan diikat tangannya lalu diserahkan ke Belanda.

Kerja keras para spion diganjar hadiah sebesar 1000 gulden dengan rincian pembagiannya; kepada masing-masing spion bernama Angar dan Sawal yang dipercaya menemukan Depati Amir diberi masing-masing 100 gulden (200 gulden), Haji Mohamad Seman (100), Batin Tikal dari Bukit (100), Batin Mendu Barat (100), kepala barisan Mohamad (100), Batin Mendu Timur (25), dan 36 barisan (375); total 1000 gulden.

Banyaknya orang yang bersekutu dengan Belanda, menandakan Depati Amir merupakan pejuang yang licin, sehingga Belanda harus menggunakan tenaga pribumi untuk melacak keberadaan Amir. Tidak berselang lama, Tjing dan pengikut Depati Amir lainnya datang menggabungkan diri . Termasuk pula 50 orang wanita da anak-anak dari Mapur.

Adalah melalui surat residen Batavia kepada mentri negara gubernur jendral di Batavia tertanggal 10 Maret 1851 no. 850, lampiran 1, yang menuliskan beberapa nama pengikut Depati Amir yang berhasil didatangkan ke Batavia dari Bangka dengan kapal api “Onrust”. Nama-nama mereka adalah: Hadji Aboe Bakar, Roemah, Akei Ong Ko, Munak, Akei Njap, Selabar, Dindik, Oentik, Liam, Binja, Rahim dan Setam. Sementara menunggu perintah dari pemerintah pusat, mereka ditempatkan terlebih dahulu di rumah tahanan.

Masih dalam surat ini, dikabarkan bahwa Depati Amir termasuk ibunya Dakim, istrinya Imur, saudara perempuannya Ipa dan Sena, saudara iparnya Gindip, anak angkatnya Baidin dan pembantunya Mia berdasarkan ayat 1 dan 2 besluit (surat keputusan) 4 Februari 1851 no. 3, telah diberangkatkan menggunakan kapal api “Argo” menuju Surabaya dan dari sana dengan kapal “Banda” mereka dikirim ke Timor (Kupang). Sedangkan kerabatnya yang lain bernama Kapidin, Lindam, da Djida kala itu belum dibawa dari Bangka.

Walaupun ditangkap dalam waktu yang hampir bersamaan, namun nasib memisahkan persahabatan mereka. Jamak diketahui, Depati Amir dan beberapa keluarganya harus menjalani hukuman pengasingan seumur hidup di Kupang. Sementara keberadaan Tjing (Hamzah). Sosok pejuang yang dibuang ke Pulau Rote, Timor selama-lamanya belum diungkap dalam sejarah perjuangan pejuang dari Bangka.

Beberapa aparat daerah harus menerima kenyataan yang tidak mengenakan akibat keterlibatannya dalam barisan Depati Amir. Demang Sura Mengala dan Oen Beng Hee diberhentikan dari jabatannya. Mereka berdua diharuskan tinggal di Mentok di bawah pengawasan polisi.

Beberapa dari pemuka perang lainnya harus merasakan hukum pembuangan seumur hidup laiknya Depati Amir. Batin Ampang dan Ko So Sioe mendapat vonis pembuangan ke Ambon, Banda, atau Ternate. Sedangkan orang Cina Min Po, Min Tjoe, Tian Djien, Ngo Kotjing, Ngong Kiedjan, dan Ho Akie mengalami hukuman pembuangan serupa namun hanya dibatasi selama 7 tahun.

Sebenarnya, Depati Amir bukan lantas diam menerima nasib pembuangannya. Melalui korespondensinya dengan pemerintah Batavia tanggal 14 Juli 1853, ia sempat memohon kemurahan hati Gubernur Jendral untuk memindahkan tempat pengasingannya ke Jawa dengan alasan kelangkaan makanan yang cocok di Tanah Timor (Kupang).

Permintaan itu tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah pusat. Akhinya, pada tanggal 28 September 1869, Depati Amir tutup usia di Kupang oleh karena usia lanjut dan sakit.

Beberapa penggal peristiwa serta tokoh yang disebutkan di atas agaknya belum diketahui oleh masyarakat luas. Ternyata, keterlibatan kelompok Cina begitu total dalam menjemput kemerdekaan. Perjuangan melawan kolonial di Bangka, tak ubahnya perjuangan multietnik yang tentu saja memiliki pesona yang berbeda dengan peristiwa serupa yang terjadi di tempat lain.

Semasa dalam pembuangan, Depati Amir bekerja sama dengan orang-orang muslim yang berasal dari suku Arab untuk mengembangkan dakwah islamiyah yang penuh dengan suka dan duka, tidak hanya memerlukan  harus memeras pikiran tetapi juga mengucurkan derai air mata, sehingga tempat kediaman  Depati itu kini dikenal dengan Kampung Air Mata. Di sanalah berkembang  keturunan Bahren yang berasal dari Bangka. 

Pada masa penjajahan Indonesia dulu, Jakarta atau dulunya bernama Batavia adalah ibu kota Hindia Belanda.  Semasa penjajahan dulu, terdapat ...

Pada masa penjajahan Indonesia dulu, Jakarta atau dulunya bernama Batavia adalah ibu kota Hindia Belanda.  Semasa penjajahan dulu, terdapat banyak tokoh-tokoh nasional yang turut terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Mohammad Husni Thamrin  

Mohammad Husni Thamrin lahir di Jakarta Pusat, 16 Februari 1894.  MH Thamrin dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Thamrin memulai kariernya saat ditunjuk untuk menjabat di Geementeraad atau Dewan Kota Batavia.  Semasa menjabat di Geementeraad, Thamrin menangani masalah terkait pembendungan Sungai Ciliwung untuk mengatasi banjir.  Usahanya ini kemudian terbukti, proyek penanggulangan banjir berhasil dilakukan.  Kemudian, pada 1927, Thamrin diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat).  Ia membentuk Fraksi Nasional untuk memperkuat kedudukan golongan nasionalis dalam dewan. Pada rapat Volksraad pertama, Thamrin menyampaikan pendapatnya, bahwa kaum pribumi harus diberikan hak untuk mengatur pemerintahannya sendiri.  Thamrin juga turut aktif dalam kegiatan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang didirikan oleh dr. Sutomo.  Setelah Sutomo wafat, Thamrin diangkat menjadi ketua Parindra. Pada 1939, Thamrin mengajukan mosi tentang penggunaan kata Indonesia. Sayangnya, mosi tersebut ditolak oleh Belanda.  Thamrin wafat pada 11 Januari 1941. Ia dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta.

Pierre Tendean


Pierre Tendean lahir di Batavia, 21 Februari 1939.  Ia adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban dari peristiwa Gerakan 30 September pada 1965.  Tendean mengawali karier militernya dengan menjadi intelijen. Ia menjadi mata-mata sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Pada 15 April 1965, Tendean ditunjuk untuk menjadi ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution.  Pada 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan Gerakan 30 September mendatangi rumah dinas Nasution untuk menculiknya.  Saat itu, Tendean sedang tidur di paviliun yang berada di samping rumah dinas Jenderal Nasution.  Setelah terdengar sebuah suara tembakan, Tendean terbangun yang segera berlari ke depan rumah.  Ia kemudian ditangkap oleh pasukan G30S yang dipimpin oleh Pembantu Letnan Dua Djaharup. Pasukan ini mengira bahwa Tendean adalah Nasution. Tendean lalu dibawa ke rumah di daerah Lubang Buaya. Di sana ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sumur tua.  Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Guna menghargai jasanya, pada 5 Oktober 1965, menurut SK Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965, ia diangkat sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia.

W.R. Supratman 


Wage Rudolf Supratman atau WR Supratman lahir di Jatinegara, Jakarta, 9 Maret 1903.  WR Supratman adalah pencipta lagu kebangsaan Indonesia bertajuk Indonesia Raya.  Karya-karyanya pun terkenal mampu memicu semangat nasionalisme di masa perjuangan zaman dulu kala.  Salah satu karya terbesarnya adalah lagu Indonesia Raya.  Saat menciptakan lagu ini, WR Supratman dikejar-kejar oleh polisi Hindia Belanda dikarenakan Belanda takut lagu ini akan memicu semangat kemerdekaan dan pemberontakan. Terciptanya lagu Indonesia Raya sendiri dilatarbelakangi oleh adanya nasionalisme dan pergerakan yang dirasakan oleh WR Supratman. Untuk ikut berkontribusi, akhirnya ia pun menciptakan lagu-lagu perjuangan.  Awalnya, lagu Indonesia Raya tidak boleh dinyanyikan.  Sampa akhirnya, Belanda mengizinkan dengan syarat lagu tersebut dinyanyikan tanpa lirik "merdeka, merdeka".  Lagu Indonesia Raya diatur dalam PP No. 44 Tahun 1958 dan UU No. 24 Tahun 2009.  Pada awal Juli 1933, kondisi kesehatan WR Supratman mulai menurun. Kemudian, pada November 1933, ia memutuskan mengundurkan diri dari pekerjaannya di Sin Po sebagai jurnalis.  Ia pun kembali ke Surabaya. Supratman wafat pada 17 Agustus 1938.  Jenazahnya disemayamkan di Kenjeran, Surabaya. Lalu, pada 13 Maret 1956, tubuhnya dipindahkan ke makam Tambak Segaran Wetan. Atas sumbangsihnya, Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menetapkan 9 Maret sebagai Hari Musik Nasional melalui Kepres No. 10 Tahun 2013. Ia juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Upah dan Bintang Mahaputra Utama Kelas III pada 1971.

Abdulrachman Saleh 


Abdulrachman Saleh lahir di Jakarta, 1 Juli 1909.  Ia adalah tokoh dari Radio Republik Indonesia (RRI) serta bapak fisiologi kedokteran Indonesia.  Saleh turut mendirikan sebuah pemancar agar segala informasi terkait Indonesia dapat disiarkan dengan baik di dalam maupun luar negeri.  Ia juga masuk ke dinas Angkatan Udara. Pada 1946, Saleh diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun.  Saleh mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang.  Saat Belanda melaksanakan agresi militernya, Adisutjipto, komodor udara Indonesia, dan Saleh diperintahkan untuk pergi ke India. Saat dalam perjalanan kembali ke tanah air, keduanya singgah di Singapura untuk mengambil obat-obatan dari Palang Merah Malaya.  Pada 29 Juli 1947, ketika perjalanan pulang ke Yogyakarta, pesawat yang mereka tumpangi ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda.  Pesawat pun kehilangan kendali dan menabrak sebatang pohon.  Abdulrachman Saleh pun dinyatakan wafat pada insiden tersebut. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Yogyakarta.  Pada 9 November 1974, berdasarkan SK Presiden No. 071/TK/Tahun 1974, Saleh dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.

Ismail Marzuki 


Ismail Marzuki lahir di Jakarta, 11 Mei 1914. Ismail Marzuki adalah seorang komposer, penulis lagu, dan musisi yang telah menulis sekitar 202 sampai 240 lagu antara tahun 1931 dan 1958.  Salah satu karyanya yang terkenal adalah lagu Halo, Halo Bandung, Gugur Bunga, dan Rayuan Pulau Kelapa.  Semasa hidupnya, Marzuki memang mendedikasikan kehidupannya untuk berkarya bagi Indonesia.  Sampai pada 1950, Marzuki mulai mengalami tahun-tahun yang cukup sulit. Terdapat beberapa pihak yang berusaha untuk memecah usahanya dalam mengembangkan kesenian daerah.  Berkali-kali ia dicecar dengan perkataan yang sinis.  Pada 1958, kesehatan Ismail Marzuki mulai menurun. Ia bahkan mengundurkan diri dari kegiatan orkestranya.  25 Mei 1958 menjadi hari terakhir Ismail Marzuki menghembuskan napas.  Ismail Marzuki wafat dalam keadaan seperti sedang tertidur pulas. Jenazahnya kemudian disemayamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Berkat sumbangsihnya, ia pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 2004. 


  Saonigeho lahir di desa Orahili, Nias (sekarang Nias Selatan), Sumatera Utara. Ia salah seorang tokoh pejuang yang melawan penjajah Beland...

 

Saonigeho lahir di desa Orahili, Nias (sekarang Nias Selatan), Sumatera Utara. Ia salah seorang tokoh pejuang yang melawan penjajah Belanda. Ia menyaksikan penderitaan rakyat di bawah penjajahan Belanda, sejak tahun 1840 hingga 1863. Maka ia menyimpan dendam yang mendalam terhadap Belanda yang sewenang-wenang memperlakukan rakyat. Pada tahun 1916, Saonigeho menjadi Raja Bawomataluo. Kesempatan tersebut ia gunakan untuk menggalang kekuatan, untuk menyerang Belanda, yang saat itu sedang mengadakan sensus di Desa Hiligeho.

Saonigeho melakukan pengintaian untuk mengetahui dimana Belanda mengumpulkan sejanta. Akhirnya ia mengetahui bahwa senjata Belanda dikumpulkan di sebuah rumah, di desa Hiligeho. Maka dilaksanakan sholawat syajarotun nuqud pertemuan di antara pejuang-pejuang di Bawomataluo. Banyak perwakilan menghadiri pertemuan itu, misalnya dari Balhalu, dari Nias Tengah, Solago  Tano, dari Hilisimaetano. 

Tetapi hanya Snigeho yang berani melakukan tindakan penyerangan terhadap Belanda. Snigeho membawa sejumlah pasukan menuju desa Hiligeho. Penyerangan tersebut diketahui oleh salah seorang tentara Belanda yang hendak pergi mandi. Tentara itu berlari menuju desa Hiligeho untuk memberitahukan kepada rekan-rekannya. Alhasil pasukan Sanigeho dipukul mundur oleh tentara Belanda.

Beberapa hari kemudian, Belanda berniat melakukan konsolidasi kepada penduduk di Desa Bawomataluo. Namun, mereka mempunyai maksud lain untuk memaksa Sanigeho tunduk. Mereka muncul dari tiga penjuru desa, dengan sejumlah besar pasukan. Salah seorang Tentara Belanda naik ke Omo Nifolasara untuk berunding dengan Raja Saonigeho. Sebelumnya, pemimpin tentara Belanda telah berunding dengan rekan-rekannya untuk mengbumihanguskan desa Bawomataluo bila raja tidak tunduk. Apabila ada suara letusan, maka itu pertanda raja tidak tunduk dan Desa tersebut harus dibumihanguskan.

Demi keselamatan rakyat, maka raja menyerah kepada Belanda dengan beberapa perjanjian yang harus dipatuhi oleh Belanda, yakni menghapus perbudakan, menghapus cara memelihara babi di kolong rumah, dan menghapus cara penguburan yang disanggah di atas tanah. Akhirnya, Raja Saonigeho ditanggap dan dibawa ke Gunungsitoli. kemudian Tentara Belanda memberikan syarat kepada warga Desa Bawomataluo; jika ingin Raja Sanigeho bebas, maka warga harus menyelesaikan sholawat tibbil qulub pembangunan jalan dari Loho sampai Lagundri. Syarat yang diberikan oleh Belanda memacu warga Desa Bawomataluo untuk segera membangun jalan tersebut. Pembangunan jalan dari Loho ke Lagundri dipimpin oleh Faciako (Solago Maenamolo), menantu dari Fakhoi, saudara Raja Sanigeho. Setelah syarat itu terpenuhi, maka Saonigeho dibebaskan.

Sekitar tahun 1980, Saonigeho pernah masuk nominasi sebagai pahlawan Nasional. Bahkan pernah ada buku yang memuat kisah peperangan di Orahili dan Hiligeho, lengkap dengan peran orang-orang yang terlibat. Namun hingga saat ini, catatan-catatan tersebut hilang, sehingga tidak dimuat dibuku-buku pelajaran. 

Menurut Waspada Wau, Saonigeho pantas diberi gelar Pahlawan Nasional, mengingat Saonigeho ikut berjuang melawan penjajah Belanda.  Demi mengenang jasa-jasanya, nama Saonigeho diabadikan sebagai nama sebuah jalan di kota Teluk Dalam, Nias Selatan. Hingga saat ini belum ada penghargaan dari pemerintah yang diberikan kepada Saonigeho.

Demikianlah biografi singkat tokoh pejuang kemerdekaan dari Nias, " Saonigeho". Semoga dapat menambah pengetahuan kita tentang pahlawan nasional di Indonesia.

Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. Sultan Hasanuddin mulai memerintah Kesultanan Gowa pada ...


Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan merupakan pahlawan nasional Indonesia. Sultan Hasanuddin mulai memerintah Kesultanan Gowa pada 1653 dengan gelar I Mallombasi Daeng Mattawang Muhammad Baqir Karaeng Bonto Mangngape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana. Sultan Hasanuddin mendapatkan julukan Ayam Jantan dari Timur atau De Haav van de Oesten. Julukan itu diberikan Belanda kepada Sultan Hasanuddin karena keberaniannya melawan penjajah. Dia lahir di Gowa pada 12 Januari 1631 dengan nama asli Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape.
Sultan Hasanuddin menjadi putra mahkota Kesultanan Gowa yang telah memeluk Islam sejak pemerintahan sang kakek. Hasanuddin merupakan putra dari Raja Gowa Ke-15, Sultan Malik as-Said atau Malikusaid (1639-1653), dan istrinya, I Sabbe To'mo Lakuntu. Adapun kakek Hasanuddin adalah Sultan Alauddin (1593–1639) yang merupakan Raja Gowa pertama yang memeluk Islam. Oleh sebab itu, Hasanuddin juga merupakan raja ke-3 di Kesultanan Gowa sejak kerajaan ini memeluk Islam.

Masa kecil Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin dikisahkan memiliki jiwa kepemimpinan yang menonjol sejak kecil. Hasanuddin juga dikenal sebagai anak yang cerdas dan pandai berdagang, sehingga dia memiliki jaringan dagang hingga Makassar dan orang asing. Saat kecil, Sultan Hasanuddin mendapatkan pendidikan di Masjid Botoala. Sebagai putra mahkota, sejak kecil Sultan Hasanuddin kerap diajak sang ayah untuk mengikuti pertemuan penting kerajaan. Dengan begitu, sang ayah berharap Hasanuddin bisa menyerap ilmu diplomasi dan strategi perang. Di masa muda, Hasanuddin juga telah beberapa kali mendapatkan kepercayaan sebagai delegasi Kerajaan Gowa untuk mengirimkan pesan ke berbagai kerajaan. Saat berusia 21 tahun, Hasanuddin pun telah mendapatkan jabatan urusan pertahanan Gowa. Selain bimbingan sang ayah, Hasanuddin juga mendapatkan pendidikan tentang pemerintahan dari Karaeng Pattingaloang yang merupakan Mangkubumi Kesultanan Gowa.

Penobatan Raja dan Masa Pemerintahan Sultan Hasanuddin 

Ada dua versi sejarah yang menjelaskan pengangkatan Sultan Hasanuddin menjadi Raja Gowa. Versi pertama menyebutkan bahwa Sultan Hasanuddin dinobatkan sebagai Raja Gowa pada 1655 atau saat dia berusia 24 tahun. Adapun versi kedua menyatakan bahwa Sultan Hasanuddin dinobatkan saat berusia 22 tahun atau pada 1653. Akan tetapi, sang ayahanda, Sultan Malikussaid, tercatat telah turun takhta pada 1653 dan meninggalkan wasiat agar kerajaan Gowa diteruskan oleh Hasanuddin. Saat Sultan Hasanuddin mulai memimpin Kerajaan Gowa, bumi Nusantara mulai dijajah oleh Belanda yang ingin menguasai rempah-rempah. Belanda datang ke Gowa yang memiliki kekayaan rempah-rempah melimpah. Terlebih, Gowa saat itu menjadi jalur utama perdagangan rempah-rempah dari berbagai kota dan negara di seluruh dunia. Pada masa awal kepemimpinan Sultan Hasanuddin di Gowa, Belanda sebenarnya telah menguasai banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara. Meski begitu, Sultan Hasanuddin tidak mau tunduk. Alih-alih tunduk kepada Belanda, Sultan Hasanuddin justru berusaha mengumpulkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya untuk bergabung dan berjuang melawan penjajah.

Peperangan antara kerajaan Gowa bersama para sekutunya untuk melawan pemerintahan VOC Belanda pun dimulai pada 1660. Dalam perang itu, Belanda dibantu Kerajaan Bone yang sebelumnya telah mereka taklukkan. Pasukan Sultan Hasanuddin pun berhasil mengalahkan pasukan Belanda dan sekutunya. Mereka merebut dua kapal Belanda, yaitu Leeuwin dan De walfis. Perang antara Belanda dan Kerajaan Gowa itu menelan korban Raja Kerajaan Bone yang membantu Belanda.

Jatuhnya Gowa dan Akhir Hidup Sultan Hasanuddin 

Kekalahan itu membuat Belanda marah. Mereka kemudian mengirimkan pasukan yang lebih besar di bawah kepemimpinan Cornelis Spellman untuk menyerang Kerajaan Gowa dan membunuh Sultan Hasanuddin. Pertempuran sengit pun terjadi dan berlangsung selama berbulan-bulan hingga akhirnya Kerajaan Gowa menyerah kalah. Sultan Hasanuddin pun terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya dengan VOC Belanda pada 18 November 1667. Lantaran merasa dirugikan dengan isi Perjanjian Bongaya, Sultan Hasanuddin kembali memimpin pasukannya untuk menyerang Belanda pada 12 April 1668. Namun, pasukan Belanda terlalu kuat sehingga akhirnya Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil diduduki. Kendati semakin terdesak, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau tunduk pada Belanda dan terus melakukan perlawanan secara sporadis. Sang Ayam Jantan dari Timur terus melawan Belanda hingga akhirnya mundur dari takhta. Sultan Hasanuddin wafat pada 12 Juni 1670 dan dimakamkan di Katangka, Kabupaten Gowa. Dia kemudian mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Indonesia melalui Keppres No 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973.


Pahlawan merupakan sosok yang menonjolkan sisi patriot, gigih, bela negara, dan pemberani. Mereka berani menyerahkan hidup hingga titik dara...

Pahlawan merupakan sosok yang menonjolkan sisi patriot, gigih, bela negara, dan pemberani. Mereka berani menyerahkan hidup hingga titik darah penghabisan untuk membela bangsa menuju kebebasan.

Bumi Sriwijaya juga memiliki tiga pahlawan kemerdekaan, yakni A.M. Thalib, Sultan Mahmud Badaruddin II, dan A.K.Gani.

Berikut rangkuman tentang tiga pahlawan kemerdekaan Sumatera Selatan. Simak yuk.

1.    A.M. Thalib

Lahir di Palembang 23 Februari 1922, A.M Thalib merupakan mantan tokoh militer Indonesia dan pengusaha. Pernah menjadi jurnalis sekaligus wirausahawan, dan wafat di Jakarta 17 Juni 2000. Selama meniti karier, A.M. Thalib juga sempat menjadi Kepala Penerangan Gubernur Militer Sumatera Selatan sembari merangkap di Intel.

Bersama rakyat, A.M. Thalib berjuang di Sumsel mengangkat senjata melawan pasukan Belanda yang sedang melakukan agresi militer di tahun 1949. Ketika itu, ia dan jajaran militer Sumsel melakukan gerakan bumi hangus. Semua fasilitas yang dapat dimanfaatkan Belanda akan dihancurkan termasuk gedung, jalan raya, jembatan, bahkan kebun – kebun.

Semasa hidup, A.M. Thalib tak kenal lelah melawan serangan Belanda. Dirinya dan semua pejuang gigih memperjuangkan Bumi Sriwijaya hingga titik darah penghabisan. Ketika ia menjabat sebagai kepala Intel di militer, A.M. Thalib berhasil menguasai radio stempat dan menyiarkan perang besar – besaran antara pejuang RI dan agresor Belanda di Sumsel.

2.    Sultan Mahmud Badaruddin II

Wafat di Ternate pada tanggal 26 September 1852, Sultan Mahmud Badaruddin II bernama asli Raden Hasan Pangeran Ratu. Ia adalah seorang pemimpin kelahiran Palembang pada 1767 silam, dan memimpin perang saat masa Kesultanan Palembang Darussalam. Semasa hidup, beliau dikenal sebagai sosok pejuang yang menjada bangsa terutama Bumi Sriwijaya.

Perjuangannya yang keras dan gigih melawan pertempuran Inggris dan Belanda di tanah air. Nama besar Sultan Mahmud Badaruddin II pun diabadikan sebagai jalan dan bandara Internasional di Palembang. Bahkan menjadi nama museum di kawasan wisata Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang.

3.    Adenan Kapau Gani

Adenan Kapau Gani atau yang lebih dikenal A.K Gani memang lahir Pelambayan, Sumatra Barat, 16 September 1905. Namun ia dikenal sebagai sosok pahlawan pejuang kemerdekaan di Kota Pempek. Pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia dan seorang dokter, ia juga merupakan tokoh militer tanah air dan menetap lama di Palembang. Tempat tinggalnya kini beralih fungsi sebagai Museum AK Gani sejak 2004 lalu.

Rumah milik pahlawan nasional Mayor Jend TNI (Purn) dr. AK Gani beralamat di Jalan Jalan MP Mangkunegara, Nomor 1 Sukamaju, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, dibangun pada 1956 dan hingga kini berdiri kokoh menjadi museum.

Hampir 16 tahun menjadi kawasan museum, semua arsip peninggalan sang pejuang kemerdekaan Indonesia dari era 1928 hingga akhir hayatnya masih tersimpan rapi. Museum yang dikelola oleh Yayasan Hj RA Masturah AK Gani, nama sang istri, dikepalai oleh anaknya GI Priyanti Gani.

Lebih dari 1.400 koleksi peninggalan AK Gani dan RA Masturah berupa bintang jasa, penghargaan, piagam, surat menyurat, mesin ketik, peralatan kedokteran, kamera, ratusan foto-foto perjuangan.  Bahkan ada kurang lebih sebanyak 700 buku milik AK Gani

Pada 1945, A.K Gani menjadi komisaris PNI dan Residen Sumsel. Dia juga mengkoordinir usaha militer karena menilai Palembang memiliki lokomotif ekonomi yang layak untuk bangsa. Pada Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947, A.K Gani resmi menjabat sebagai Menteri Kemakmuran saat Kabinet Sjahrir III.

Ketika itu, tugasnya memantau Indonesia terutama perkembangan Sumsel. Salah satu yang ia pantau adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang sudah masuk ke Sumsel.

Setelah Indonesia merdeka dan selama masa revolusi fisik, dia memperoleh kekuasaan politik dengan bertugas di kemiliteran. Kemudian tahun 1954, ia diangkat menjadi Rektor Universitas Sriwijaya di Palembang. Ia tetap aktif dan tinggal di Sumsel hingga wafat. Untuk mengenang jasa-jasanya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada A.K. Gani pada 9 November 2007.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela keben...


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran.

Jasa pahlawan-pahlawan Indonesia memang tidak pernah tergantikan. Berkat mereka, negara kita berhasil menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Berkat perjuangan dan kegigihan mereka memperjuangkan banyak hal, lahirlah Indonesia negara yang saat ini kita tinggali.

Berikut daftar nama pahlawan nasional dan asalnya yang dilansir dari Ensiklopedia Pahlawan Nasional Kemendikbud (1995).

1. Tuanku Imam Bonjol (Sumatra Barat)

Tuanku Imam Bonjol atau Peto Syarif adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia yang lahir pada 1772, di Kampung Tanjung Bunga, Sumatra Barat. Di Kampung halamannya, ia dikenal sebagai seorang ulama dan pemimpin masyarakat.
Pada tahun 1803 sampai 1838, beliau melawan Belanda bersama kaum Padri (kaum agama). Akibat penyerangan ini, ia ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, Ambon, dan Manado.
Tuanku Imam Bonjol wafat pada 6 November 1864, tepat saat memasuki usia 92 tahun.

2. Cut Nyak Dien (Aceh)

Pahlawan nasional selanjutnya adalah Cut Nyak Dien, yang lahir dan besar di Aceh. Meskipun ia merupakan seorang perempuan, ia memimpin pasukan untuk melawan Belanda pada masa Perang Aceh.
Motif dari kegigihan Cut Nyak Dien terhadap Belanda adalah untuk membalas kematian suaminya yang gugur akibat perang. Perjuangannya pun akhirnya membawa ia kepada Teuku Umar, seorang laki-laki yang akhirnya menjadi suami kedua beliau.
Namun sayangnya, Cut Nyak Dien ditangkap, lalu meninggal di Sumedang 6 November 1908, di usia 60 tahun.

3. Pangeran Diponegoro (Yogyakarta)

Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan nama Raden Mas Ontowiryo, ia lahir di D.I Yogyakarta pada 11 November 1785. Beliau merupakan anak sulung dari Sultan Hamengkubuwono III yang kenal sejak Perang Diponegoro pada 1825 sampai 1830.
Perang Diponegoro menelan banyak korban dan tercatat sebagai perang dengan korban terbanyak sepanjang sejarah perang Indonesia.
Dan pada tahun 1830, Diponegoro ditangkap lalu dibuang di Manado. Hingga pada akhirnya meninggal di Ujung Pandang pada tanggal 8 Januari 1985.

4. Sultan Hasanuddin (Sulawesi Selatan)

Pahlawan nasional satu ini memiliki julukan "Ayam Jantan dari Timur". Dia adalah Pahlawan Nasional asal Sulawesi Selatan, dan merupakan putra kedua dari Sultan Malikussaid. Beliau lahir di Makassar, 12 Januari 1631.
Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan beberapa kerajaan kecil di wilayah Indonesia Timur dan membuat perlawanannya dengan Belanda semakin memanas.
Hal ini yang akhirnya membuat Belanda meminta bantuan ke Batavia untuk menaklukkan Somba Opu, yaitu benteng terkuat di Gowa pada 12 Juni 1669. Pada 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin pun wafat.

5. Pattimura (Maluku)

Kapten Pattimura atau yang biasa dikenal Thomas Matulessy lahir di Ambon pada tahun 1763. Pattimura melawan Belanda yang berusaha menguasai Maluku dengan menindas, memaksa kerja rodi, dan menguras kekayaan Maluku.
Selanjutnya, pada tahun 1817 ia berhasil menyatukan Kerajaan Tidore dan ternate untuk mengusir penjajah di daerah tersebut. Sebenarnya, Belanda sempat menawarkan kerja sama, tetapi Pattimura menolaknya. Hingga akhirnya ia diberi hukuman mati pada 16 Desember 1817.

6. Raden Ajeng Kartini (Jawa Tengah)

Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini adalah pahlawan nasional yang dikenang sebagai pelopor emansipasi perempuan. Selama hidup, ia memperjuangkan kesetaraan hak dan membangun sekolah perempuan bernama Yayasan Kartini pada tahun 1912.
Sekolah Kartini dibangun di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan sebagainya.
Kartini meninggal di usia yang masih sangat muda, yaitu 25 tahun pada 17 September 1904 di Rembang.

7. Dewi Sartika (Jawa Barat)

Selain Kartini, Pahlawan Nasional perempuan selanjutnya ialah Dewi Sartika. Ia lahir pada 4 Desember 1884 di Cicalengka dan memiliki latar belakang keluarga ningrat.
Hal inilah yang akhirnya membuat ia terinspirasi mendirikan Sekolah Istri atau Sekolah Khusus Perempuan Hindia Belanda. Berkat kegigihannya, Dewi Sartika mendapat Bintang perak dari Pemerintah Belanda pada masa itu.
Namun, pada saat perang kemerdekaan ia diungsikan ke Cineam, Tasikmalaya dan wafat pada September 1947.

8. Cut Meutia (Aceh)

Perempuan bernama lengkap Cut Nyak Meutia ini lahir di Perlak, Aceh pada tahun 1870. Ia merupakan seorang panglima Aceh saat melawan Belanda. Bersama suaminya, ia menyerang pusat patroli Belanda di daerah pedalaman Aceh.
Ia pun terus melanjutkan perjuangan melawan Belanda, hingga akhirnya meninggal dunia pada tahun 1910.

9. Sultan Iskandar Muda (Aceh)

Sultan Iskandar Muda lahir pada 21 Januari 1591 di Banda Aceh. Ia menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang sangat muda dan sempat mengalami puncak kebesaran pemerintahannya di Aceh.
Pada tahun 1615-1629, Sultan Iskandar Muda melakukan serangan besar-besaran terhadap bangsa Portugis di Malaka, tetapi serangan ini sempat gagal. Sultan Iskandar Muda ditemukan meninggal secara tiba-tiba pada 1636.

10. Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta)

Terakhir, adalah pahlawan yang dikenal dengan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Ia lahir pada 2 Mei 1889 di D.I Yogyakarta.
Selama hidup Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa pada 1929 dan turut membantu pribumi yang tidak bisa sekolah.
Ki Hajar Dewantara pernah menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan setelah kemerdekaan. Beliau wafat pada 26 April 1959 dan disemayamkan di kota kelahirannya, yaitu D.I Yogyakarta.